Mohon tunggu...
Muh Ikhsan
Muh Ikhsan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Muh. Ikhsan bukan seorang Pujangga yang Pandai Merangkai Kata. Saya hanya seorang sederhana yang bisa dicintai dan juga dibenci... Itu Sah-Sah saja...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pahamilah Politik Supaya Tidak Dipolitiki

26 Mei 2013   20:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:59 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik itu seni.”
“Politik itu kotor!”
“Ah! Itu hanya permainan politik.”
Pernahkah Anda mendengar kalimat-kalimat ungkapan di atas? Di luar, masih ada banyak sekali pendapat orang-orang tentang politik. Mulai teori para pakar hingga hanya berkelakar. Perdebatan di forum resmi sampai warung kopi. Hampir semua jenis orang dengan beragam profesi dan tingkatan kelas, nyaris masing-masing memiliki definisi tentang politik, meski sebatas apa yang dirasakan dalam realita kehidupan sehari-hari.
Adakalanya tanggapan yang dilontarkan bersifat gamblang dan ramah, namun pada saat lain ketika seseorang itu mendendam–sebagai korban kebijakan rezim yang berbeda dari ideologi politik yang dia citakan–terkadang definisi yang dia lontarkan sangat emosional menanggalkan nalar keilmuan, “Politik itu jahat!” atau menolak secara tegas, “Saya tidak suka politik!”. Karena itu, sebuah nasihat layak dicamkan, “Pahamilah politik supaya tidak dipolitiki”.
Politik adalah keniscayaan yang selalu ada dalam kehidupan manusia, terbentuk sebagai sifat alami manusia. Di kehidupan nyata bermasyarakat–terutama masyarakat era informasi teknologi sekarang, yang ruang sosialnya semakin sempit terampas oleh teknologi jejaring sosial–satu sama lain setiap orang berbeda dalam banyak hal; kesehatan, harapan, kebutuhan, keinginan, kemampuan, ataupun kepercayaan. Ada
yang menerima perbedaan tersebut sebagai hal-hal wajar, tetapi kadang merangsang pemikiran dan memunculkan keresahan, argumen, perdebatan, perselisihan, hingga percekcokan.
Jika perdebatan dan perselisihan itu beranjak serius, perhatikan! mereka akan memperkenalkan hal-hal detail dalam masalah itu yang saling bertentangan tapi sama-sama menuntut penyelesaian. Inilah aktivitas politik. Tidak selalu hidup dalam setting besar seperti negara, tapi juga bisa laten meski hanya pada dua orang. Di mana ada dua orang atau lebih, di situ ada politik!.
Setiap orang, pada asasinya memiliki kemampuan politik. Manusia sejak kelahirannya membawa sifat-sifat alami (nature), tetapi dalam kehidupannya sangat dipengaruhi oleh pengalaman pengalaman sosial (nurture). Begitupun dalam tindakan, manusia dengan akalnya selalu berusaha bertindak rasional, namun
takjarang menggunakan perasaannya karena naluri yang dimiliki. Dalam proses meraih kepentingannya, manusia juga dapat berlaku anomali. Pada satu saat ia sangat intensif bersaing untuk mencapainya, tapi di lain waktu manusia saling bekerjasama karena insentif tertentu. Bagaimanapun, politik akan selalu hidup
dalam masyarakat dan mati seiring hilangnya masyarakat. Inflasi mata uang, kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, pergunjingan tentang bahan bakar minyak (BBM), atau harga cabe yang seketika melonjak gila-gilaan, semua selalu dikaitkan dengan politik. Kebanyakan masyarakat menilai sisi politik dari kenyataan-kenyataan negatif yang ditimbulkan. Hal ini tidak terlepas dari media yang lebih senang ‘menjual’ berita berita politik kontroversial. Semakin ramai perdebatan sebuah kebijakan politik, semakin besar porsinya dalam pemberitaan.
Meski berdampak menyisakan sikap permisif yang berkontribusi memunculkan pragmatisme di masyarakat, namun pada sisi lain menciptakan ruang baru dalam dunia politik dalam bentuk marketing politik; berupa paket-paket pencitraan yang dikemas dalam beberapa studi ilmiah, seperti survei, polling, quick count, dan berbagai aktivitas kajian. Para akademisi memandang ilmu politik sebagai salah satu ilmu tertua. Mereka berpendapat bahwa kata politik berasal dari bahasa Yunani kuno: “Polis”, artinya negara kota. Oleh Plato–seorang pelopor filsafat Yunani kuno–kata tersebut dipakai untuk menamakan hal-hal terkait kenegaraan: “Politea”. Sedangkan Aristoteles–seorang murid Plato, lebih luas dalam menjelaskan politik sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (“Politikon”). Cita-cita kebaikan bersama ini dapat berupa nilai-nilai ideal yang sifatnya abstrak– seperti keadilan dan kesejahteraan–maupun keinginan orang banyak (golongan mayoritas).
Pandangan teoritis di atas terkenal sebagai Teori Klasik yang mengedepankan aspek filosofis daripada melihat realitas fakta-fakta empiris politik. Sesuatu filosofis seringkali sangat lemah karena terlampau ideal melihat arah yang dicitakan, tetapi kurang dapat diimplementasikan dalam praktek-praktek secara nyata. Dalam perkembangannya, istilah “Politikon” diadopsi oleh banyak bahasa termasuk Bahasa Indonesia: “Politik”. Istilah politik digambarkan sebagai ilmu kenegaraan, atau seni mengatur dan mengurus negara. Dalam arti luas mencakup kebijakan dan tindakan mengambil bagian dalam urusan kenegaraan atau pemerintahan–meliputi penetapan bentuk, tugas, dan lingkup kenegaraan1. Pandangan terhadap istilah ini yang di Indonesia digunakan secara baku, merupakan pengejawantahan Teori Fungsionalisme bahwa politik digunakan sebagai cara merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum. Pemerintah–atas nama negara–mengklaim sebagai satu-satunya pihak berwenang untuk mengalokasikan nilai-nilai yang mengikat  masyarakat. Kelemahan pandangan ini terletak pada pemerintah sebagai pengatur kepentingan masyarakat–yang pada dasarnya juga memiliki kepentingan tersendiri. Sehingga beberapa kepentingan parsial masyarakat seringkali terbentur kepentingan pemerintah. Sebuah kerangka politik dipopulerkan Harold Laswell pada tahun 1948 melalui bukunya “Politics: Who Gets What, When, How?” (Politik: Siapa Mendapatkan Apa, Kapan, Bagaimana?).
Who bisa merujuk orang, kelompok/organisasi, lembaga maupun pemerintah/negara. What dapat berarti nilai-nilai abstrak–misal keadilan atau kesejahteraan–maupun konkrit–seperti kedudukan dan kekayaan. When merupakan ukuran orang atau kelompok yang mendapatkan manfaat nilai-nilai–seperti kekuasaan atau pengaruh selama kurun waktu tertentu (rezim). Dan, how adalah cara untuk mendapatkan nilai-nilai tersebut pada waktu tertentu–secara persuasif atau koersif (menggunakan tekanantekanan).
Sebagai ilmu, politik tidak dapat berdiri sendiri dan sangat dipengaruhi oleh ilmu (1) sejarah, (2) filsafat, (3) hukum, (4) sosiologi, (5) antropologi, (6) ekonomi, (7) geografi, (8) etnologi, dan (9) psikologi sosial.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun