Bila berkunjung ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, ada satu bangunan yang nyaris tak mungkin terlewatkan yakni Kori Kamandungan.Â
Letaknya persis setelah melewati jalan Supit Urang, berdiri kokoh sebagai pintu gerbang utama menuju jantung keraton. Bukan sekadar pintu, bangunan ini adalah saksi sejarah, cagar budaya, sekaligus simbol kewibawaan dan keagungan istana Jawa.
Dalam bahasa Jawa, kata "kori" berarti pintu gerbang atau gapura yang menjadi akses masuk ke suatu area, biasanya menuju halaman atau bangunan utama.
Dalam konteks keraton, kori bukan sekadar pintu fisik, tetapi juga punya makna simbolis: sebagai batas antara dunia luar dan ruang yang lebih sakral di dalamnya. Jadi, saat seseorang melewati kori, ia dianggap telah memasuki wilayah yang memiliki aturan, tata krama, dan wibawa tersendiri.
Nama Kamandungan sendiri memiliki beberapa penafsiran. Ada yang berpendapat berasal dari kata minandung-an yang berarti "cadangan." Versi lain menyebutnya dari kata mandhu, yang berarti "magang" atau "calon," dimaknai sebagai pengingat bahwa manusia pada hakikatnya adalah calon orang mati (sebuah renungan akan kefanaan).Â
Sementara itu, jika merujuk pada Bausastra Jawa, kata mandung berarti tandhon atau "penampungan," memberi kesan bahwa tempat ini adalah ruang singgah dan penyaring sebelum seseorang melangkah lebih dalam ke jantung keraton.
Kori Kamandungan pertama kali dibangun di masa pemerintahan Pakubuwono II. Lalu, pada 10 Oktober 1819, Pakubuwono IV berupaya memperindahnya, meski tak sempat tuntas karena beliau wafat. Pekerjaan itu diteruskan oleh para penerusnya, dari Pakubuwono V hingga IX, dan akhirnya disempurnakan oleh Pakubuwono X.Â
Hingga kini, bentuknya masih memancarkan pesona klasik: tiga pintu dengan ukuran berbeda sebelah kiri 2,10 meter, tengah 2,67 meter, kanan 2,30 meter dengan lengkungan khas di bagian atas, serta atap bergaya kupu tarung dan dapur semar tinandu.
Di atas pintunya, ada pahatan keris berwarangka ladrang gaya Solo yang berdampingan dengan lambang Keraton Kasunanan. Tepat di bawahnya, terpasang sebuah cermin besar, detail yang bukan sekadar ornamen. Secara lahiriah, cermin itu mengajak setiap tamu yang datang memeriksa kerapian sebelum melangkah masuk.Â
Secara batiniah, cermin itu mengingatkan bahwa sebelum memasuki ruang penuh wibawa, manusia harus "bercermin" pada perilaku dan hati nuraninya. Falsafah ini dikenal dengan ungkapan mulat sarira hangrasa wani berani menilai diri, menjaga sikap, dan menata hati, seolah bersiap menghadap Sang Pencipta.Â