Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surjan: Busana Jawa yang Menjaga Iman dan Identitas

21 Mei 2025   13:22 Diperbarui: 21 Mei 2025   13:22 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surjan warisan Sunan Kalijaga (Dok. Pribadi) 

Bicara soal surjan, kita sedang bicara lebih dari sekadar baju adat. Di balik lipatan kainnya yang sederhana, tersembunyi filosofi mendalam tentang hidup, tentang iman, bahkan tentang bagaimana manusia seharusnya berjalan di dunia.

Surjan bukan sembarang pakaian. Ia dirancang dengan nilai-nilai luhur, diciptakan pertama kali oleh Sunan Kalijaga. Sang Wali memadukan antara nilai estetika, fungsionalitas, dan pesan spiritual yang tinggi dalam rancangan busana ini. 

Kata "surjan" sendiri berasal dari bahasa Arab "sirajan", sirajan munira, yang berarti "cahaya yang menerangi" seperti dalam Surat Al-Ahzab ayat 46. 

Dalam bahasa Jawa, sirajan dimaknai sebagai pepadhang (penerang), dan munira sebagai menyinari. Sejak awal, surjan sudah diciptakan bukan hanya untuk menutupi badan, tetapi untuk mengingatkan kita bahwa manusia seharusnya menjadi cahaya --- bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Dalam kebudayaan Jawa, surjan juga dikenal sebagai "baju takwa." Julukan ini bukan tanpa alasan. Filosofi mendalam tersembunyi dalam desain dan struktur baju ini, bahkan hingga ke jumlah dan posisi kancingnya. Di bagian leher, terdapat tiga pasang kancing jadi total ada  enam buah. Angka enam ini mewakili enam Rukun Iman dalam Islam: percaya kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari kiamat, serta qada dan qadar.

Tak hanya itu, pada bagian lengan surjan terdapat lima kancing, yang melambangkan lima Rukun Islam: syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji. Sementara di bagian dada, tersembunyi tiga buah kancing yang mewakili tiga jenis nafsu yang harus dikendalikan oleh manusia: Nafsu Bahimah (kebinatangan), Nafsu Lauwamah (berlebih dalam makan dan minum), serta Nafsu Syaithaniah (kesetanan). Letak kancing-kancing ini yang tidak kasat mata atau tertutup ini menjadi simbol bahwa perjuangan melawan nafsu adalah perjalanan batin yang sunyi --- namun wajib dihadapi.

Motif lurik yang umum digunakan dalam surjan pun bukan tanpa makna. Garis-garis lurus yang mengisi kain surjan adalah simbol dari furqan --- pemisah antara yang benar dan yang salah, antara kebaikan dan keburukan. Setiap helai lurik seperti mengingatkan kita untuk tetap berada di jalan yang lurus, untuk tahu kapan harus memilih, dan berani bertindak sesuai nurani.

Dalam sejarahnya, surjan digunakan sebagai pakaian resmi para abdi dalem Keraton Yogyakarta, juga para prajurit kerajaan. Model surjan yang dipakai mengikuti kedudukan dan fungsi pemakainya. Maka tidak heran, muncul dua jenis surjan yang dikenal masyarakat hingga kini: Surjan Lurik dan Surjan Ontrokusuma.

Surjan Lurik adalah jenis yang paling dikenal oleh masyarakat. Motifnya terdiri dari garis-garis vertikal yang sederhana, namun penuh makna. Lurik berasal dari kata lorek, yang artinya garis, namun dalam konteks budaya Jawa juga bisa dimaknai sebagai upaya untuk "melurik" atau mengamati hidup secara saksama. Surjan lurik dikenakan oleh rakyat kebanyakan, termasuk para prajurit dan aparat kerajaan. Menariknya, ukuran motif lurik, warna dasar kain, dan garisnya bisa menandakan status sosial si pemakai. Semakin besar motif lurik dan semakin dalam warnanya, semakin tinggi pula jabatan pemiliknya.

Surjan Ontrokusuma, di sisi lain, lebih anggun dan mewah. Terbuat dari kain sutra dengan motif bunga (kusuma), surjan jenis ini hanya dikenakan oleh kaum bangsawan atau digunakan dalam upacara-upacara adat yang bersifat sakral. Kata "ontrokusuma" sendiri mengandung makna bunga yang sedang gugur --- melambangkan kerendahan hati dan pengingat akan kefanaan dunia. Busana ini tidak hanya indah, tetapi juga menyiratkan pesan spiritual yang dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun