Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gegar April = Gegar Indonesia?

2 Mei 2018   03:54 Diperbarui: 2 Mei 2018   15:34 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan April lalu, meski bernuansa 'perempuan' adalah bulan yang penuh dinamika. Penulis sejatinya mau menulis sejak awal bulan, kala kasus puisi 'Ibu Indonesia' Sukmawati Sukarno Putri, 'telpon Anies' Ratna Sarumpaet hingga perayaan Hari Kartini - Hari Bumi (21-22 April). Namun, penulis mencoba sabar menunggu hingga akhir April, apa lagi kisah dramatis di Bumi Pertiwi Nusantara ini? Hingga puncak drama April pada hari Ahad lalu, 30 April, pada perayaan Car Free Day (CFD) di Jakarta. Maka, penulis akan merangkai nalar - hikmah dari rentetan kisah April lalu dengan term 'Gegar April'.

Dari Gegar Gender ke Gegar (Sosial) Budaya

Mungkin kita agak miris ketika mendengar kata 'gegar', karena identik hal tragis dan berakhir pada anomali. Semisal, kita tentu pernah mendengar istilah kedokteran 'gegar otak' sebagai sebuah penderitaan pada otak akibat guncangan dari luar (karena terjatuh, pukulan benda keras, dan sebagainya). 'Gegar' sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai 'guncang', 'goyang' dan 'gentar'. Pada kondisi kritis, gegar otak pada manusia bisa berakibat pada kelainan jiwa hingga kematian. Kondisi inilah yang ditakuti oleh kita yang mengalami atau berhadapan dengan kasus 'gegar otak' tersebut.

Selanjutnya, term 'gegar gender' muncul pertama pada awal tahun 1991 oleh Naomi Wolf, dalam bukunya Fire with Fire, The New Female Power and How it Will Change the 21st Century. Menurutnya, sejak Musim Gugur 1991 telah terbuka era baru : era gegar gender (genderquake), saat makna 'menjadi perempuan' telah berubah untuk selamanya. Perempuan telah -sedang- menjadi kelas penguasa, namun perempuan satu-satunya kelas berkuasa yang tidak sadar akan kedudukannya.

Ada tiga kendala besar yang menghadang 'kuasa perempuan' atau keberanian perempuan berpartisipasi di ranah publik, yakni : perempuan terlanjur terasing (alienasi) dari gerakan perempuannya sendiri, fenomena 'Feminisme Korban' dan 'Feminisme Kekuasaan' yang memicu dan menimbun sikap-sikap yang keliru, dan kurang bekal ilmu kejiwaan tentang kekuatan perempuan guna mengimbangi kesempatan-kesempatan baru yang terbentang di depan mata perempuan. 

Jika dinisbatkan dengan konsep 'keterasingan (alienasi)' Karl Marx, perempuan kuasa tersebut pun tengah mengalami keterasingan terhadap diri dan sesama (perempuan, gerakan perempuan dan warga bangsa). Menurut Wolf, keterasingan membuat perempuan terhambat dalam meraih kesamaan hak yang sebenarnya mereka cita-citakan. Faktor-faktor lain yang mengasingkan perempuan dari feminism antara lain : kesalahan persepsi, pembungkaman secara ekonomis, sepinya media massa dari debat tentang isu-isu keperempuanan, kecenderungan mandulnya intelektual feminis dan mental ketertutupan dari orang-orang yang hanya bersikap ramah kepada 'teman sendiri'.

Terkait fenomena gegar di April lalu, ada kisah-kisah perempuan yang sempat menjadikan Indonesia 'gegar' dimana bingkai persatuan anak negeri hampir retak akibat dinamika kisah mereka. Kisah pertama, dari anak Proklamator, Sukmawati Sukarnoputri. Awal April, kita disuguhkan berita viral tentang puisi kontroversi berjudul 'Ibu Indonesia', karya Sukmawati yang dibacakan pada perhelatan 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018. Meski sempat berapologia, bahwa puisi itu adalah karyanya sebagai budayawati, akhirnya Sukmawati dalam sebuah konferensi pers menyampaikan permohonan maafnya kepada umat Islam yang marah terhadap puisinya. 

Kisah kedua, dari pegiat budaya -saya tidak menyebut sebagai budayawati- Ratna Sarumpaet yang sempat viral karena tindakannya menelpon Gubernur Anies (dan diterima stafnya) terkait penderekan mobilnya oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta (dan telah dipulangkan oleh staf Dishub). Untuk menghindari polemik, Ratna melanjutkan perlawanan sikapnya dengan mengirimkan somasi kepada Dishub DKI Jakarta yang dianggapnya cacat prosedur.  

Kisah ketiga, dari seorang ibu pemakai kaos #DiaSibukKerja bersama anaknya yang terjebak di tengah kerumunan para pemakai kaos #2019GantiPresiden pada sebuah kegiatan CFD Sudirman -- Thamrin, Jakarta. Perempuan itu --dan beberapa kawannya yang berkaos sama- merasa mengalami persekusi (perundungan) oleh kelompok mayoritas yang berkaos #2019GantiPresiden, meski bagi pihak lain dianggap sebagai hal biasa, sebagai percandaan, bakugara (saling menggoda). Hingga tulisan ini terbit, peristiwa CFD ini masih menjadi perdebatan kontroversial dari kedua belah pihak di media sosial (medsos) bahkan berujung di proses hukum dan debat politik.

Terkait kisah tiga perempuan tersebut, apa kaitannya dengan fenomena 'gegar gender' dan term 'Gegar April'? Menurut penulis, ketiga sepak terjang ketiga perempuan tersebut telah mencerminkan fenomena 'gegar gender'. Berbagai reaksi muncul dari berita terkait kisah mereka, dari yang mendukung, diam menunggu, hingga yang menggugat --sebagian menghujat, bahkan berujung perseteruan hukum -politik- sosial budaya karena melibatkan dua atau lebih kelompok kepentingan yang berbeda.

Puisi Sukmawati merupakan keresahan perempuan terhadap sistem sosial-budaya yang dianggap mengukung kemanusiaannya. Puisi tersebut mencoba membenturkan agama dan budaya, kritik sosial dan ideologi yang dibalut dengan 'bahasa' budaya. Ragam reaksi muncul dari puisi tersebut, dari aspek budaya (seni bebas nilai atau berpihak), sosial (potensi disintegrasi negeri), politik (teori konspirasi, pengalihan isu) hingga masalah kemanusiaan (pemicu ujaran kebencian, ekspresi manusiawi) dan ideologi (sekularisme, Islamophobia). Figur Sukmawati hampir menjadi peluntur kharisma dan citra positif Soekarno, sebagai negarawan yang dekat dengan rakyat (wong cilik) dan semua golongan, termasuk tokoh agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun