Gender dapat dimaknakan sebagai kondisi personal yang terlahir secara biologis sebagai tipe laki-laki dan perempuan, lalu mendapatkan klasifikasi karakteristik sosial sebagai karakter laki-laki dan perempuan melalui pelengkap dan pendukung nilai-nilai masyarakat dalam memandang identitas maskulinitas dan feminitas. Istilah gender sangat sering dikatikan dengan istilah seks (jenis kelamin). Keduanya mempunyai definisi yang memuat perbedaan. Jenis kelamin dapat didefinisikan sebagai klasifikasi biologis yang memisahkan dua jenis kelamin manusia laki-laki dan perempuan berdasarkan ciri fisik bawaan mereka.
Menurut etimologinya, gender berasal dari kata bahasa Inggris "sex". Namun, perkembangan selanjutnya mendefinisikan gender sebagai perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan dalam hal perilaku, norma, dan nilai sosial. Dalam konteks bahasa, gender merupakan cerminan norma budaya tentang perilaku yang pantas bagi laki-laki dan perempuan. Menurut Elaine Showalter, gender adalah konstruksi sosial yang membedakan peran laki-laki dan perempuan. Menurut Women's Studies Encyclopedia, gender didefinisikan sebagai istilah budaya yang membedakan peran, perilaku, proses mental, dan sifat emosional laki-laki dan perempuan, yang semuanya dibentuk oleh interaksi sosial dalam masyarakat.
Jenis ketidakadilan terhadap pembahasan gender dalam pandangan (streotype) yang lekat sangat banyak terjadi kepada mereka. Ada banyak cara untuk mengecek perkembangan gender. Aspek biologis dan sosial atau kognitif diprioritaskan dalam aktivitas yang berkaitan dengan gender laki-laki dan perempuan. Menurut pandangan LeDoux, pendekatan biologis dijelaskan dengan adanya perbedaan pada otak laki-laki dan perempuan yang menitikberatkan pada perbandingan dengan melihat aspek penilaian pada corpus callosum, yaitu jaringan serabut saraf yang berfungsi menghubungkan kedua bagian otak (Rosyidah, 2019).
Kesetaraan gender merupakan pembahasan sosial yang selalu dipandang dan dikaji dalam menjawab permasalahan-permasalahan di lingkungan nyata. Hal tersebut menjadi pemicu bagi permasalahan ketidakseimbangan gender kepada perempuan di lingkungan organisasi. Permasalahan gender akan terus mempengaruhi kinerja setiap struktural dalam organisasi, seperti kasus pelecehan verbal atau non verbal, ketidaksesuaian pembagian gaji, dan steorotip kepemimpinan bagi perempuan. Walaupun keberadaan perempuan pada dunia kerja telah mengalami perkembangan yang signifikan, organisasi tetap menghadapi tantangan dalam membuat lingkungan yang adil bagi semua individu. Pemikiran ketidaksetaraan gender dan adanya peran tradisional yang melekat pada masyarakat, menyebabkan dampak pada siklus keberlanjutan di organisasi (Leovani dkk, 2023).
Menurut laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2020, skor Indeks Kesenjangan Gender Global yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk mencapai 68,6%. Artinya, masih terdapat sekitar 31,4% kesenjangan yang perlu diselesaikan oleh masyarakat dunia. Dalam laporan yang sama, Indonesia menempati posisi ke-85 terkait isu kesenjangan gender. Sementara itu, menurut Badan Pusat Statistik (2019), menunjukkan tentang Indeks Pemberdayaan Gender pada tahun 2019 memperlihatkan keterlibatan perempuan Indonesia sebagai tenaga profesional berada pada kisaran 35% hingga 55%. Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat perempuan menempati posisi profesional di dalam dunia kerja, dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dilandasi dengan berbagai faktor, bukan hanya mengenai perspektif perempuan yang tidak layak menjadi pemimpin. Kesenjangan gender tersebut akan memberikan efek kepada banyak hal dan menghalangi banyak potensi yang dapat ditunjukkan oleh perempuan, jika diberikan hak yang sama dengan laki-laki (Baiduri dkk, 2023).
Pengaruh rendahnya partisipasi perempuan dalam ekonomi dan ketenagakerjaan (Organisasi) secara general dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti (i) kebiasaan berpikir melalui internal budaya mengenai perempuan yang bekerja dan peran gender tradisional; (ii) efek beban ganda perempuan dalam keluarga sebagai pelaku produktif dan reproduktif; (iii) kurangnya dukungan dalam kebijakan, regulasi, dan kondisi di tempat kerja dan adanya faktor diskriminasi saat perekrutan, proses bekerja, dan purnakerja; (iv) adanya pelanggaran hak pekerja dalam aspek seksual (Badan Kebijakan Fiskal, 2021).
Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs), isu kesetaraan gender secara tegas tercantum pada tujuan 5, yang menyoroti pentingnya mencapai kesetaraan antara pria dan wanita sambil memperkuat pemberdayaan wanita, secara khusus membahas masalah kesetaraan gender. Dalam konteks nasional, TPB diartikan ke dalam sembilan target utama yang sesuai dalam dokumen metadata TPB 2024 (Badan Pusat Statistik, 2025) :
Menindaklanjuti dan menghentikan seluruh bentuk aktivitas diskriminasi kepada kaum perempuan di seluruh tempat.
Menghilangkan seluruh perilaku kekerasan kepada perempuan dalam lingkungan publik dan lingkungan pribadi.
Menghilangkan seluruh kebiasaan agresif dan merugikan.
Mengakui dan menghargai pengasuhan anak yang tidak dibayar, dan tugas-tugas rumah tangga dengan menawarkan layanan publik, membangun infrastruktur, menyediakan perlindungan sosial yang memadai, dan mempromosikan tugas-tugas rumah tangga dan keluarga bersama. Menjamin keterlibatan maksimal bagi perempuan untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam kepemimpinan di seluruh tingkatan pengambilan keputusan, baik dalam ranah politik, ekonomi, maupun kehidupan publik.
Menyediakan fasilitas yang merata terhadap pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual, penegakkan hak-hak reproduksi sebagaimana tercantum dalam Program of Action of the International Conference on Population and Development serta Beijing Platform for Action, termasuk hasil dokumen tindak lanjut dari konferensi-konferensi tersebut.
Mendorong perubahan dalam memastikan hak yang setara bagi perempuan dalam kepemilikan sumber daya ekonomi, mencakup akses terhadap tanah, properti lainnya, layanan keuangan, warisan, dan sumber daya alam, sesuai dengan ketentuan hukum nasional yang berlaku.
Memaksimalkan implementasi teknologi yang relevan, khususnya implementasi teknologi informasi dan komunikasi, sebagai sarana dalam memberdayakan perempuan.
Menegakkan peraturan-peraturan yang mendukung dalam meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di berbagai bidang kehidupan.
Oleh karena itu, steorotip gender memiliki pengaruh yang sangat luar biasa dalam kinerja seorang perempuan dalam lingkungan organisasi, seperti aspek kepemimpinan, aspek profesionalitas, dan aspek budaya. Perspektif ini harus dicegah melalui beberapa regulasi yang mendukung dan memberikan ruang hak perempuan dalam mengeksplorasi banyak hal.
DAFTAR PUSTAKA
Leovani, Ega. Dkk. (2023). Ketidaksetaraan Gender Di Tempat Kerja : Tinjauan Mengenai Proses Dan Praktek Dalam Organisasi. Analisis. Vol 13(2).
Badan Pusat Statistik. (2024). Indeks Ketimpangan Gender. Badan Pusat Statistik. Vol 3.
Rosyidah, Feryna Nur. Nurwati, Nunung. (2019). Gender dan Stereotipe: Konstruksi Realitas dalam Media Sosial Instagram. Share. Vol 9(1).
Baiduri, Intan. Dkk. (2023). Gender dna Kepemimpinan: Sebuah Kajian Literatur. JIMEK. Vol 3(2).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI