Mohon tunggu...
Muhammad Yuwen
Muhammad Yuwen Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Bahasyuwen

Anak kecil

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tantangan Sarjana Hukum 4.0

8 September 2019   12:13 Diperbarui: 8 September 2019   12:22 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Memasuki era revolusi industry 4.0, segi-segi kehidupan manusia mengalami perubahan yang signifikan, termasuk pekerjaan, hukum, bahkan gaya hidup manusia itu sendiri. Tidak hanya tentang berkurangnya peran anggota tubuh manusia yang tergantikan oleh alat-alat canggih. Namun, lebih jauh lagi Artifcial intelegant (kecerdasan buatan) atau disingkat AI sekarang ini telah jauh berkembang bukan lagi menggantikan peran anggota tubuh manusia namun mampu menggantikan manusia itu sendiri hampir dalam segala sisi pekerjaan.

Artificial intelegent (kecerdasan buatan) tidak hanya tentang pengetahuan atau data yang terkumpul namun, ia dapat memahami dan menganalisis layaknya manusia dengan nalarnya. Contohnya ketika seseorang menulis status di facebook atau twitter (ngetweet) tentang calon presiden A dan B, AI mampu mengerti tentang status tersebut. Bahkan AI mampu memberikan kesimpulan terkait status tersebut membela calon presiden A atau membenci calon presiden B dengan menggunakan sentiment analysis dalam suatu program komputer.

Semakin berkembangnya peradaban yang dibungkus melalui revolusi industry 4.0 layaknya memberikan alarm bagi calon sarjana hukum. banyaknya bermunculan start up hukum maupun layanan hukum berbasis online lainnya semakin menggerus profesi seorang lawyer. Disisi lain hukum sekarang ini masih menggunakan baju yang compang camping sambil berjalan tertatih-tatih tertinggal jauh oleh laju perkembangan teknologi informasi. Calon sarjana hukum pada era ini tidak lagi harus terpaku pada undang-undang yang muncul sangat lama dan sangat cepat tergantikan akibat zaman yang tidak mengenal proses peralihan namun patahan dahsyat (disruptif). Rasa keadilan yang terdapat dalam hati dan jiwa calon sarjana hukumlah yang harus ditanamkan sejak dini.

Calon sarjana hukum harus membekali diri dengan banyak belajar filsafat moral, teori hukum, filsafat hukum, teori keadilan, sosiologi hukum bahkan sejarah sekalipun layaknya ketapel yang ditarik kebelakang untuk melesat maju kedepan karena hukum melihat kedepan bukan kebelakang (lex prospicit, non respicit). Pengetahuan adalah data, ia mati dan pehamaman adalah nalar, ia hidup. Data atau hafalan undang-undang diera perubahan yang serba cepat ini hanyalah sementara atau sebentar saja. Namun, penalaran hukum tak pernah mati, ia hidup dan terus berkembang.

Tekhnologi informasi memberikan wadah kilat untuk memproleh ataupun memberikan informasi. Namun, kekhawatiran yang terjadi ialah apakah setiap informasi yang tersebar merupakan informasi yang benar? Ataukah hoax?. Samarnya referensi yang terpercaya semakin menyulitkan seseorang untuk terhindar dari perangkap hoax. Sebagai contoh, web sebagai salah satu tempat untuk mencari informasi begitu gampang dimanipulasi. Web-web terpercaya telah dicemari oleh para cyberquatting (penyerobotan nama domain) maupun kejahatan typosquating (kemiripan nama domain). Nama-nama web terpercaya sekalipun bisa menjadi jurang hoax bagi mahasiswa.

Di samping itu banyak orang muda, tua, pria maupun wanita yang telah terjerat kasus hoax oleh UU ITE. Untuk itu tugas seorang mahasiswa khususnya mahasiswa hukum sekarang ini ialah memberikan edukasi kepada masyarakat, kerabat, keluarga tentang hukum dan aturan penggunaan media social, karena proses sosialisasi peraturan perundang-undangan yang dilakukan pemerintah maupun pemerintah daerah tidak secepat tergantikannya peraturan perundang-undangan tersebut akibat tergerus zaman. Asas fiksi hukum atau semua orang dianggap tahu hukum telah menutup ruang alasan seseorang akan ketidaktahuan hukum. diera ini mahasiswa hukum harus memberikan rule (aturan) pada jari jemarinya maupun jari jemari keluarga, kerabat masyarakat agar terhindar dari jeruji besi akibat ketidaktahuan akan hukum. 

Mudah dan cepatnya mengakses informasi sangat membantu mahasiswa hukum untuk memproleh bahan bacaan. Membaca buku, jurnal, artikel ilmiah haruslah menjadi kegiatan rutin sehari-hari mahasiswa hukum untuk memperluas wawasan keilmuannya. Dengan kemudahan untuk memproleh bahan bacaan tentunya memberikan kemudahan bagi mahasiswa hukum untuk menulis. Menulis adalah kegiatan mengukir diri dalam sejarah atau menurut Pramoedya Ananta Toer '' menulis adalah bekerja untuk keabadian''. Budaya literasi bagi mahasiswa hukum saat ini bukan lagi menjadi ''harus'' tapi ''wajib''. Diera ini sanksi kebodohan akan menjadi penyakit yang sangat perih. Ketidakmampuan memprediksi masa depan akibat kekurangan wawasan, ketidakmampuan berpikir kreatif dan inovatif dapat menjadi penyebab calon sarjana hukum ditelan oleh era yang serba digital.

Manusia-manusia zaman dulu telah banyak menghasilkan tulisan-tulisan walaupun informasi tidak semudah, murah dan tidak secepat sekarang ini. UNTUK ITULAH SAYA MENANTANG CALON SARJANA HUKUM KHUSUSNYA DI UNIVERSITAS MATARAM UNTUK MENULIS SATU SAJA TULISAN (SELAIN SKRIPSI) ENTAH OPINI, ESAI ATAU KARYA TULIS ILMIAH.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun