Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Keluarga, Kesepakatan Bersama atau Kewenangan Bapak?

17 Mei 2023   06:42 Diperbarui: 17 Mei 2023   06:50 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budaya kebersihan dalam keluarga bukan hanya tugas ibu atau anak gadis. (sumber: kompas.com)

Saya suka kerapihan, sedangkan adik laki-laki saya tidak suka kerapihan. Saya senantiasa menginginkan rumah dalam keadaan rapih sedangkan adik laki-laki saya sebaliknya.

Perdebatan senantiasa terjadi andaikan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana posisi perabotan rumah tangga ataupun pakaian kotor semestinya diletakkan. Saya berharap jika saya memperoleh dukungan dari Bapa karena memiliki dasar pemikiran yang jelas tentang kerapihan. Namun, Bapa saya malah memihak kepada si adik.

Aduh. Ada perasaan kesal.

Namun, pada akhirnya saya mengerti jika standar budaya dalam keluarga kami bukan ditentukan oleh sebuah "pijakan berpikir yang ilmiah" atau setidaknya "mengikuti standar nasional/internasional". Standar budaya dalam keluarga kami _orang Sunda_ ditentukan oleh Bapa.

Semula, rasa frustasi membuat emosi tidak terkendali karena apa yang telah dipelajari tidaklah sesuai dengan kenyataan kehidupan sehari-hari. Ketika di sekolah saya diajarkan untuk rapih dan bersih, ternyata di rumah berantakan.

Hingga, ada suatu ketika saya mendapati pemahaman bahwa ada pihak yang memiliki otoritas dalam suatu organisasi ketika memutuskan standar seperti apa yang akan diberlakukan. Meskipun seorang guru berbusa-busa bicara tentang budaya Jepang yang rapih dan bersih, toh pada akhirnya Bapa-lah sebagai pemegang keputusan apakah budaya Jepang itu akan diterapkan atau tidak. Jika seorang anak berkehendak untuk menerapkan budaya baru dalam keluarga, maka tidak usah berharap akan segera terlaksana tanpa persetujuan dari bapa.

Dalam institusi terkecil sebagaimana keluarga, otoritas seorang bapa memiliki nilai lebih dibandingkan ibu. Budaya kami memberikan tempat lebih dari seorang ibu dalam hal membuat keputusan.

Andaikan seorang anak belum memahami budaya seperti apa yang berlaku di keluarganya, maka tidak heran jika konflik sering terjadi. Anak enggan untuk berkompromi. Bapa pun merasa dilangkahi sebagai kepala keluarga. Tidak ada kesesuaian persepsi tentang bagaimana seharusnya kita memiliki budaya dalam keluarga.

Saya pun masih mencermati setiap hari bagaimana sesungguhnya budaya dalam keluarga sendiri. Kenapa terbentuk seperti saat ini? Faktor apa yang membuat bapa, ibu serta anak-anaknya memiliki persepsi berbeda tentang dirinya dan lingkungan sekitar. Bahkan, bagaimana setiap anggota keluarga memandang dunia yang lebih luas.

Ketika tahu akan hal itu, setidaknya bisa timbul empati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun