Bapa saya, sejak dahulu tidak pernah memasang pengusir burung di areal pesawahan. Meskipun, jumlah burung tidak sedikit beterbangan sambil sesekali hinggap di bulir-bulir padi. Bagi Bapa, biarlah itu menjadi sedekah.
Cara kami menanam padi memang masih tradisional. Jarang sekali pesawahan disemprot dengan pestisida atau insektisida. Pupuk kimia pun ditaburkan dengan takaran minimal, selebihnya ditambah pupuk kandang. Memang, produktifitas padi tidak selalu bagus tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai musim selanjutnya.
Kalau musim menanam padi, sepasang ruak datang dan bertelur di sana. Suaranya riuh rendah jika si jantan merayu betina. Karena itu, tetangga pun tertarik untuk menangkapnya. Sayang.
Tetapi, kali ini diganti dengan  burung ayam-ayaman yang sering bermalam di sana. Kalau pagi menjelelang, suaranya menenangkan. Begitu terasa jika alam kami masih terjaga.
Karena para burung senang hidup di pesawahan, ayam peliharaan pun tidak mau ketinggalan. Sepanjang siang mereka menyusuri barisan padi demi menikmati serangga-serangga yang penuh gizi.
Jika petani lain suka mengusir ayam yang masuk pesawahan, maka Bapa saya malah memanfaatkannya untuk mengusir belalang dan teman-temannya.
***
Selain buat makan anggota keluarga, padi buat kami juga untuk menghidupi makhluk penghuni bumi. Karena mereka juga hidup kami menjadi lebih bermakna.
Para tikus kami biarkan hidup agar ada kucing yang bertahan hidup. Ular pun betah berlenggak-lenggok di sawah. Sawah bukan hanya padinya yang dijadikan hasil, tetapi suasananya menjadi terapi alami.
Karena, jika menanam padi seperti menjalan mesin industri kelestarian alam tidak mungkin terjadi. Apalagi, saya tidak bisa menjalankan hobi fotografi karena objeknya sudah tidak ada lagi.