Bersitegang, tidak  hanya beradu mulut tetapi juga beradu otot. Demi apa? Entahlah.
Ibu kota hingga Papua masih memunculkan berita yang tidak sedap dipandang mata. Konsentrasi pikiran banyak yang tertuju ke sana hingga Ambon dalam bencana pun tidak terpikirkan.
Di media sosial, ramai diperbincangkan setiap detail kejadian pertengkaran antara aparat keamanan dengan para demonstran. Disertai komentar, berita berseliweran entah darimana sumbernya.
Emak-emak memenuhi linimasa dengan curhatannya menyayangkan kondisi yang ada. Akun-akun tidak bernama, memerankan diri sebagai pembawa pesan. Sayangnya, pesan-pesan itu malah membuat kesan yang tidak berkenan.
Berita bukan sebagai bentuk penyampaian informasi yang netral tetapi banyak yang berisi ajakan dan ejekan. Terjadi pemukulan di sana, terjadi penembakan di sini dan masih banyak lagi. Rata-rata menyampaikan pertikaian, dan tentu saja bukan ajakan perdamaian.
Konflik, memang asyik untuk diulik. Seperti menonton tinju atau perkelahian di gelanggang, orang yang bersitegang malah dibuat semakin tegang. Â Korban berjatuhan masih ada yang menganggapnya hiburan, mengisi waktu luang dibalik membosankannya acara TV yang tayang.
Nonton sinetron di TV, jalan ceritanya mudah ditebak. Nonton pertikaian di pesan berantai, uh bisa sambil santai. Bahkan, sepertinya banyak yang berharap ceritanya "jangan cepat selesai".
Kalau anak kecil main game di dunia maya, asyik lah karena bisa membawanya pada dunia imajinasi. Kalau orang tua main 'game' di dunia nyata sepertinya punya keasyikan tersendiri. Ya, membuat konflik kok jadi hobi?
Kalau konflik bukan sebagai bentuk kesenangan, kenapa itu senantiasa berulang? Bahkan, musiman. Kayak buah-buahan!
Konflik sengaja diciptakan. Dibuatlah arena sebagai tempat yang cocok agar mencolok. Seperti sabung ayam, pertarungan digelar di tempat terbuka. Karena, kalau di tempat tertutup, siapa yang mau menonton?
Dimana Sisi Humanis Kita?