Pada perkuliahan Leading Positive Change minggu lalu, saya juga mempelajari salah konsep yang menarik yang bisa diterapkan dalam dunia pendidikan---Appreciative Inquiry (AI). Konsep ini diperkenalkan oleh David Cooperrider dan Suresh Srivastva pada tahun 1987 melalui publikasi ilmiahnya yang berjudul "Appreciative Inquiry in Organizational Life". Meskipun ini konsep yang sudah sangat lama, tapi jujur, saya pertama kalinya mendengar konsep ini kemarin. Setelah mempelajarainya lebih mendalam saya merasa bahwa cara berpikir yang ditawarkannya sangatlah positif dan membangun sehingga sayang kalau tidak diterapkan dalam konteks pendidikan.
Berbeda dari pendekatan yang biasanya fokus pada masalah atau kelemahan yang harus diperbaiki, Appreciative Inquiry justru mengajak kita untuk memulai dari hal-hal yang sudah berjalan baik, lalu membayangkan dan membangun masa depan yang kita inginkan. AI mengajak kita untuk merefleksi: Apa yang sudah berhasil kita laksanakan di sekolah/organisasi ini? Apa yang membuat kita bangga? Â Apa momen terbaik yang pernah kita capai? Dan, apa yang bisa kita kembangkan dari sana?
Â
Konsep ini bekerja melalui empat langkah sederhana yang dikenal sebagai 4D Cycle, ada juga yang menyebutnya 5 langkah (5D Cycle) dengan memasukan "Define"-Mendefinisikan fokus positif- sebagai langkah awalnya. Kemudian dilanjutkan dengan "Discover" -- Menggali kekuatan dan keberhasilan yang sudah ada. Setelah itu kita diajak untuk bermimpi "Dream" -- Membayangkan masa depan terbaik yang bisa dicapai. Setelah ada gambaran tentang masa depan yang diinginkan, maka dilanjutkan dengan "Design" -- Merancang sistem atau strategi untuk menuju ke sana, dan terakhir adalah "Destiny" -- Mewujudkan perubahan secara berkelanjutan.
Dalam dunia pendidikan, pendekatan ini bisa membantu sekolah menggali potensi terbaik dari guru, siswa, dan seluruh komunitas sekolah. Bukan lagi hanya fokus pada kekurangan, tetapi membangun dari apa yang sudah kuat. Â Appreciative Inquiry mengajarkan bahwa perubahan yang berdampak tidak selalu datang dari kritik atau koreksi---tapi bisa dimulai dari apresiasi yang tulus, dan mimpi bersama yang dihidupkan dengan aksi nyata.
Sebagai contoh, jika sebuah sekolah ingin menggunakan Appreciative Inquiry untuk meningkatkan keterlibatan guru dan menciptakan budaya kerja yang lebih positif, maka yang bisa mereka lakukan adalah memulai dengan menggali cerita-cerita terbaik dari pengalaman para guru. Misalnya, dalam tahap discover, sekolah bisa mengundang guru untuk berbagi momen saat mereka merasa paling dihargai, paling bersemangat mengajar, atau ketika kolaborasi tim berjalan sangat baik.
Dari cerita-cerita itu, sekolah lalu masuk ke tahap dream, yaitu membayangkan seperti apa suasana kerja ideal yang ingin dibangun bersama. Apa yang diinginkan guru? Lingkungan seperti apa yang membuat mereka betah dan terus berkembang?
Berikutnya adalah tahap design, di mana sekolah bersama guru merancang program, kebijakan, atau sistem kerja yang mendukung mimpi tersebut. Misalnya, forum apresiasi mingguan, ruang kolaborasi antar guru, berbagi praktek baik atau program mentoring sesama rekan kerja.
Akhirnya, dalam tahap destiny, sekolah mulai menjalankan rencana tersebut dengan melibatkan semua pihak secara aktif, menjaga semangat positif, dan terus merefleksikan hasilnya agar tetap relevan dan berkelanjutan.
Dengan Appreciative Inquiry, sekolah tidak sekadar memperbaiki masalah, tapi membangun masa depan berdasarkan kekuatan dan harapan bersama. Pendekatan ini bukan hanya mengubah strategi, tapi juga cara pandang kita terhadap perubahan itu sendiri.
Adelaide, 2025