Mohon tunggu...
Moh. Samsul Arifin
Moh. Samsul Arifin Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka membaca dan menulis apa saja

Saya suka menulis, dan membaca apa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kapan Nikah? (Ageisme) Analisis Sosial Ekonomi Indonesia

18 Januari 2021   20:05 Diperbarui: 18 Januari 2021   20:29 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar :haibunda

KAPAN NIKAH?: ANALISIS BUDAYA DAN MASA DEPAN EKONOMI BANGSA 

Lelucon bagi yang mengucapkan, kebencian bagi yang mendapatkan. Anehnya, seorang yang sudah pernah 'disakiti' oleh pertanyaan ini justeru melakukannya juga bagi orang lain yang belum menikah, khususnya pemuda-pemudi yang belum berkeluarga setelah menginjak usia tertentu yang dianggap dewasa. Di Jawa (termasuk Madura), wanita menanggung tekanan batin lebih berat, sebab kedewasaan seseorang diukur dari status pernikahannya. Fenomena ini disebut Ageisme. 

Ageisme adalah stereotip dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok atas dasar usianya. Ageisme dapat memiliki banyak bentuk, termasuk sikap prasangka, praktik diskriminatif, atau kebijakan dan praktik kelembagaan yang melanggengkan keyakinan stereotip. Dalam sejarahnya, istilah ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1969 oleh ahli gerontologi AS Robert N. Butler untuk menggambarkan diskriminasi terhadap warga senior (Wikipedia). 

Lansia yang tidak produktif dianggap sebagai beban yang kemudian membentuk produk budaya baru yaitu panti jompo. Sebuah rumah layanan sosial untuk merawat para orang tua. Ageisme tidak hanya terjadi pada masyarakat lanjut usia, remaja pun dianggap / dipandang sebelah mata karena diyakini belum mandiri, masih tergantung pada keluarga dan memiliki emosi yang labil.

Di masyarakat kita lebih unik lagi, egeisme juga terjadi pada pemuda-pemudi yang belum menikah. 'Lelucon' dengan pertanyaan 'kapan nikah?' ini selalu menjadi tema segar yang dilontarkan dengan mudah bahkan tanpa memikirkan dampak emosional orang yang dibully tersebut. Beberapa kasus memilukan pernah terjadi gara-gara 'pertanyaan maut' ini, di Minahasa, seorang pria 52 tahun menebas temannya sendiri setalah ditanya 'kapan nikah?', di Garut, hal serupa juga terjadi pada tahun 2018 silam. Seorang pemuda (28) membunuh seorang perempuan yang sedang hamil karena sering dibully dengan pertanyaan serupa di atas (suara.com). serta beberapa kasus kriminal lainnya yang ditengarai oleh candaan tak sopan itu. Apakah ageisme benar-benar menjadi masalah, dan kasus di atas siapa yang salah? 

Ageisme lazim secara luas dan berasal dari asumsi bahwa semua anggota suatu kelompok (misalnya orang dewasa yang lebih tua) adalah sama. Seperti rasisme dan seksisme, ageisme melayani tujuan sosial dan ekonomi: untuk melegitimasi dan mempertahankan ketidaksetaraan antar kelompok. Sikap negatif usia dipegang secara luas di masyarakat dan tidak terbatas pada satu kelompok sosial atau etnis. Penelitian menunjukkan bahwa ageisme sekarang mungkin lebih menyebar daripada seksisme dan rasisme. 

Ini memiliki konsekuensi serius bagi masyarakat luas. Misalnya, stereotip tentang usia, bahwa lansia terpinggirkan, atau pemuda yang belum menikah dipandang sebelah mata memiliki efek domino yang begitu kompleks. Bahwa pemahaman itu telah membuat budaya pembatasan hak-hak di masyarakat, dan menjadi penghalang utama untuk mengembangkan kebijakan yang baik. Dan bagi pemuda, budaya menikah dini telah tumbuh subur melawan program Keluarga Berencana yang dicanangkan pemerintah sedari dulu itu. Selanjutnya berujung kompetisi perebutan posisi peluang kerja oleh orang-orang yang tidak berkompeten. Dan selanjutnya, dan seterusnya. 

Khusus masalah status pernikahan, perlu kita akui bahwa kita sudah kehilangan generasi karena banyak pemuda memilih cepat-cepat menikah meskipun usia, pekerjaan dan modal berumah-tangganya belum sesuai. Usaha pelurusan tentang pemahaman ini dipandang perlu untuk melawan konsep usang tentang diskriminasi usia ini. Kita harus mulai mengakui keragaman pengalaman usia lanjut, ketidakadilan usia, dan menunjukkan kesediaan untuk bertanya bagaimana masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri dengan lebih baik. Kita tidak boleh lupa pada mereka yang sukses di usia lanjut, Henry Ford (pendiri Ford Motor Company) pada usia 45, Rey Crock (pemilik Mc Donald) pada usia 52, Soichiro Honda (Pendiri Honda) dkk. Pikirkan lagi jika kita, hari ini masih jadi pengucap 'pertanyaan maut' itu pada teman-teman kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun