Mohon tunggu...
Muhammad Rajab
Muhammad Rajab Mohon Tunggu... -

32 tahun yang lalu terhitung tahun ini, Dia terlahir dari keluarga yang hidupnya sederhana dan serba pas-pasan. Bahkan terkadang tidak cukup. Pendidikannya ia lalui secara normal tanpa prestasi yang patut dibanggakan dan juga tanpa cacat yang dapat menggagalkan. Pokoknya semuanya biasa-biasa saja. Bapaknya seorang guru SD dan mamanya IRT tulen, anak ke enam dari tujuh bersaudara. Bisa dibayangkan kalau semuanya sekolah, pasti repot biayanya. Berkat ketekunan dan kesabarannya yang pendidikannya serba biasa saja, Ia mampu menyelesaikan pendidikan S1nya pada tahun 2002. Ketika menjadi mahasiswa, Ia sempat ikut-ikutan menjadi anggota organisasi mahasiswa islam dan mengikuti jenjang perkaderannya sampai tingkat Advance Training. Kalau yang ini bisa dibilang prestasi yang lebih jika dibandingkan dengan temannya yang lain. Disela-sela aktifitasnya sebagai penyelenggara pemilu ia senantiasa menulis dan berdiskusi dengan teman-temannya. Salam

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Uang dan Sikap Masyarakat

1 November 2009   14:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="332" caption="Kegiatan diskusi bersama masyarakat"][/caption] LUCU dan sedikit menggelikan duduk satu meja dengan masyarakat pedesaan membicarakan pengalaman dalam proses pemilihan umum yang telah berlalu. Saya mendapat kesempatan bersama teman-teman langsung ke desa terpencil untuk membicarakan penyelenggaraan pemilu di desa tersebut. Kegelian itu muncul ketika masyarakat disodorkan pertanyaan berkaitan dengan sikap mereka ketika ada kandidat yang datang menawari sejumlah uang dengan harapan memilihnya. “Bagaimana sikap anda ketika didatangi oleh seorang kandidiat lalu ditawari duit dengan harapan anda memilihnya?” “Diambil saja uangnya, tapi belum tentu dipilih. Kita bilang saja Insya Allah, apa yang diberika diterima saja.” Mendengarkan jawan temannya di atas, beberapa di antara peserta diskusi tertawa mendengarkan jawabannya temannya. Mungkin karena di lapangan mereka mengalami hal yang sama. Ada juga yang menanggapi dengan sangat ideal. “Saya tidak akan menukar suara saya dengan sejumlah uang ataupun barang, saya hanya akan menukarkan dengan ide dan gagasan dari kandidat.” Sebahagian lagi mengatakan, “Mungkin lebih baik ambil duluan, setelah terpilih lupa sama pemilih, daripada tidak mengambil duluan, kandidat terpilih, terlupakanlah kita.” Ini adalah tiga respon audience terhadap praktek politik uang dalam setiap pelaksanaan pemilu, atau dalam setiap kompetisi kekuasaan. Sepertinya uang menjadi benda yang sangat lumrah dalam menyertai setiap momentum demokrasi. Baik itu di kota, apalagi di pedesaan. Tanggapan peserta di atas menunjukkan bahwa kebanyakan kandidat dalam mempengaruhi pilihan masyarakat pemilih dengan mengandalkan kekuatan uang. Pada saat yang sama pula dari pihak pemilih akan menjatuhkan pilihannya kepada kandidat yang memberinya uang atau materi lainnya. Dari tiga jawaban di atas orang pertama dan ketiga secara substansi jawabannya sama, bahwa apabila ditawari suaranya ditukar dengan uang akan dilakukan. Hanya orang kedua yang menjawabnya dengan sangat ideal, itupun persoalan di lapangan belum menjamin sebetulnya. Ini menunjukkan bahwa kebanyakan pemilih akan memilih orang yang akan memberinya sejumlah uang. Kemudian teman saya lanjut bertanya. Bagaimana sikap anda ketika melihat pelanggaran pemilu terjadi? Apa yang anda akan lakukan? Hampir serentak menjawab, “Tidak berani melapor, berbahaya terhadap diri sendiri dan keluarga”. Jawaban peserta ini pertanda bahwa betapa masyarakat berada pada posisi yang lemah dan selalu dilemahkan. Bahkan ketika melihat ada yang salah, masyarakat tidak akan berani tampil melaporkan kesalahan itu, takut menjadi sasaran kemarahan oleh kekuatan politik tertentu. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat memposting tulisan di Kompasiana yang berjudul, Mau Menang dalam Pemilu, Harus Pake Uang dan Otot. Keterangan lugu dari masyarakat di atas menggambarkan bahwa betapa pada masyarakat bawah dalam menentukan pilihannya sangat dipengaruhi oleh kekuatan uang dan disertai intimidasi, kemenangan akan berada di tangan. Pilihan masyarakat ini tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang, sebab kondisi seperti ini sengaja diciptakan dan biarkan untuk melanggengkan kekuasaan dengan pola seperti diatas. Demokratisasi yang sedang dilakukan hanya akan melahirkan budaya massal yang jauh dari harapan. Hanya melahirkan sikap pragmatis dan budaya konsumerisme masyarakat, sehingga karakter bangsa, akan menjadi bangsa yang mudah diperintah oleh bangsa lain. Menjadi bangsa yang disetir oleh bangsa lainnya. Semoga kita cepat keluar dengan selamat dari masa transisi ini. Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun