Sebagai seorang lelaki muslim, melaksanakan salat berjamaah di masjid sangatlah dianjurkan dan diutamakan. Apalagi yang berstatus lajang seperti saya. Tatkala fisik masih terjaga, tenaga masih lebih dari cukup. Salat di masjid harusnya sanggup.
Hidup di kampung kadang ada enak dan terkadang ada juga yang tidak mengenakkan. Contohnya di desa saya. Disana adat dan aturan-aturan agama masih lumayan ketat terjaga.
Baik itu aturan yang tertulis maupun juga aturan-aturan yang tidak tertulis. Misalnya adalah, ketika ada seorang pemuda yang tidak bersosial dalam kesehariannya dengan masyarakat.
Contoh kasusnya begini, jika pemuda tersebut tidak pernah nampak batang hidungnya tatkala ada gotong royong, tidak pernah bertakziah ke rumah orang yang meninggal. Pemuda tersebut akan dikucilkan dalam masyarakat. Meski terkesan tidak bagus, "pengucilan" ini sukses membuat pemuda-pemuda yang seperti ini berubah sikapnya menjadi lebih peduli dan mulai bersosial dengan masyarakat.
Begitu juga jika seorang pemuda yang tidak pernah nampak batang hidungnya berjamaah di masjid. Sesekali pasti akan mendapat teguran. Biasanya dari Teungku Imuem (imam). Ataupun dari orang yang dituakan di desa.
Berawal dari sinilah kebiasaan salat berjamaah mulai terbiasa dilakukan oleh para pemuda. Dulu, ketika saya masih di kampung. Saya sering berjamaah di masjid yang berbeda-beda. Dan yang menjadi masjid favorit saya adalah Masjid Raya Labui.
Menyanggupi tema yang diberikan kompasiana kali ini tentang masjid favorit. Saya akan menceritakan tentang Masjid Raya Labui dari daerah saya.
Masjid Raya Labui, Masji Tertua di Pidie
Ketika saya masih di kampung dan masih kuliah. Saya sering melaksanakan salat jumat disana. Begitu juga ketika bulan Ramadan, saya sering melaksanakan salat tarawih di Masjid Raya Labui.