Japan Open 2025 menjadi titik nadir prestasi bulutangkis Indonesia dalam sejarah modern. Dengan hanya tiga wakil di perempatfinal dan seluruhnya gugur di babak tersebut, Indonesia tak menempatkan satu pun pemain di semifinal. Sebuah tragedi dalam olahraga yang telah lama menjadi identitas kebanggaan nasional. Bahkan ganda putri Lanny Tria Mayasari/Siti Fadia Silva Ramadhanti yang tampil impresif di gim pertama harus tunduk dari pasangan unggulan China dalam dua gim berikutnya.
Kekalahan ini bukan sekadar soal hasil, tetapi cermin telanjang dari krisis struktural dalam pembinaan atlet, stagnasi dalam pola permainan, serta ketidakmampuan PBSI membaca arah perkembangan global bulutangkis. Ketika negara-negara seperti China, Jepang, Korea, dan Malaysia melesat dengan pendekatan berbasis sains, teknologi, dan data, Indonesia justru masih nyaman dengan metode pelatnas konvensional dan seleksi atlet yang kerap menimbulkan tanda tanya.
Pertandingan Lanny/Fadia melawan Liu Sheng Shu/Tan Ning menjadi studi kasus menarik. Setelah menang telak 21-10 di gim pertama, Indonesia malah tak bisa menjaga momentum. Apa yang sebenarnya terjadi? Jawabannya sederhana, ketahanan fisik dan strategi adaptif lawan jauh lebih unggul, serta gaya permainan yang mudah dibaca oleh lawan. Pelatih ganda putri China mampu membaca pola permainan Indonesia dan membuat penyesuaian instan. Di sisi lain, pasangan kita gagal mengantisipasi perubahan dan kehilangan arah permainan.
Begitu pula dengan Fajar Alfian/Muhammad Shohibul Fikri yang kalah dari unggulan Malaysia. Kekalahan ini memperlihatkan minimnya variasi permainan, lemahnya transisi dari bertahan ke menyerang, dan kurangnya improvisasi saat menghadapi tekanan. Sistem pelatihan kita tampak gagal mengembangkan aspek teknikal-taktikal secara komprehensif, termasuk pengambilan keputusan dalam waktu sempit. Beruntung bagi Malaysia, karena kepala pelatih sektor ganda putranya adalah mantan pelatih Indonesia yang sudah tiga dekade menghasilkan juara dunia, yaitu Herry IP.
Hal yang lebih mencemaskan, kegagalan ini tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari rangkaian kegagalan lebih besar sejak awal tahun 2025. Nihil gelar Super 500 ke atas, kegagalan di Indonesia Open 2025 dan turnamen-turnamen di super 500 ke atas. Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan akumulasi dari kebijakan federasi yang tak progresif, serta sistem manajemen yang kurang peka terhadap kebutuhan zaman.
Catatan tujuh bulan tanpa gelar adalah rekor terburuk yang menandakan sistem harus di-reset. Dunia bulutangkis telah berubah, dan Indonesia tidak bisa terus bermain dengan kecepatan 1990-an di lintasan 2025. Negara-negara pesaing telah mengintegrasikan sport science, artificial intelligence, bahkan machine learning dalam analisis lawan, simulasi strategi, dan desain pola latihan. Sementara kita? Masih bertumpu pada intuisi pelatih senior dan latihan fisik rutin.
Comeback yang dimaksud untuk Anthony Ginting dan Gregoria Mariska Tunjung, justru hanya mempertegas datang kembali untuk kalah. Lebih dari itu, ini soal transformasi sistemik dan struktural. PBSI harus melakukan audit menyeluruh atas sistem rekrutmen, pembinaan, pelatihan, serta tata kelola turnamen nasional. Ini saatnya Indonesia punya pusat riset teknik bulutangkis sendiri, berisi analis data, biomekanik, psikolog olahraga, dan pelatih muda progresif.
Kekalahan terburuk bukan akhir segalanya. Ia adalah titik nol untuk membakar semangat, membongkar sistem lama, dan menata kembali fondasi kejayaan olahraga bangsa.
Kita harus keluar dari jebakan nostalgia kejayaan masa lalu. Nama besar seperti Alan Budi Kusuma atau Susi Susanti adalah warisan, bukan jaminan masa depan. Tanpa inovasi, kita hanya akan jadi negara yang dibicarakan di masa lampau. Saat negara seperti India dan Thailand mulai mengorbitkan bintang dari sistem yang solid, kita justru sibuk menyalahkan pemain ketika kalah.
Penguatan teknik bermain harus menjadi agenda utama. Pola permainan pemain Indonesia saat ini monoton, kurang fleksibel dalam rotasi, serta lambat beradaptasi di lapangan. Pemain kita seperti terpaku pada skenario awal dan gagal merespons perubahan tempo permainan lawan. Tak heran, pemain Indonesia kerap kalah setelah menang di gim pertama, seperti Lanny/Fadia malam itu.
Selain teknik, pendekatan psikologis dan strategi permainan juga penting. Saat ini tidak banyak pemain kita yang mampu bermain dengan game intelligence tinggi. Kemampuan membaca lawan, menipu arah bola, hingga memainkan tempo jadi keunggulan atlet elite dunia. Itu semua perlu ditanamkan sejak junior, bukan sekadar mengandalkan smash keras dan lari cepat.