Ben Affleck sebagai sutradara tidak jatuh pada glorifikasi berlebihan. Ia justru menampilkan Mendez sebagai sosok yang manusiawi, penuh beban, dan terus dirundung keraguan. Hal ini memberi kedalaman psikologis pada narasi film, menjauh dari model pahlawan heroik khas Hollywood.
Argo bukan sekadar film penyelamatan, tapi bukti bahwa narasi bisa melampaui senjata. Dalam bayang-bayang perang dan revolusi, kisah yang dirancang dengan kecerdikan mampu menembus tembok kecurigaan dan menyelamatkan yang tak terselamatkan.
Namun, dari perspektif analisis film global, Argo juga bisa dibaca sebagai bentuk soft propaganda. Tanpa harus mengangkat senjata atau pidato politik, Amerika membenarkan operasi intelijen rahasianya melalui media film. Amerika setidaknya menciptakan legitimasi melalui dramatisasi.
Sebagai karya sinematografi, Argo adalah contoh ideal genre drama thriller berbasis sejarah. Editing ritmis, akting yang solid, serta skenario yang presisi menjadikannya layak meraih Academy Awards sebagai Film Terbaik pada 2013. Ia bukan hanya hiburan, tetapi juga alat pendidikan sejarah yang efektif.
Akhirnya, Argo bukan hanya kisah tentang pelarian enam diplomat Amerika. Ia adalah alegori tentang keberanian dalam kepanikan, kreativitas di tengah kekacauan, dan diplomasi yang tersembunyi dalam akting. Di tengah dunia yang makin terpolarisasi oleh konflik dan perang naratif, Argo mengingatkan kita bahwa terkadang, satu cerita bisa menyelamatkan nyawa, dan mengubah sejarah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI