Film Argo (2012) bukan sekadar sajian thriller politik yang mendebarkan, namun juga sebuah cermin sejarah yang tajam terhadap konflik ideologis antara dunia Barat dan Timur Tengah. Disutradarai dan dibintangi Ben Affleck, film ini memvisualisasikan salah satu operasi penyelamatan paling absurd sekaligus brilian dalam sejarah CIA, berlatar belakang Revolusi Iran yang membara antara November 1979 hingga Januari 1981.
Ketika para revolusioner Iran mengepung Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran dan menyandera 60 staf diplomatik, dunia tercengang. Namun, Argo mengangkat kisah lain yang lebih tersembunyi namun tak kalah dramatis. Pelarian enam orang pegawai kedutaan yang berhasil lolos dan bersembunyi di kediaman Duta Besar Kanada, Ken D. Taylor.
Film ini tidak hanya berhasil menghidupkan ketegangan selama 120 menit, tetapi juga menggambarkan kompleksitas moral, manipulasi media, serta absurditas diplomasi internasional. Dalam dunia di mana realitas dan fiksi bersilangan, CIA menciptakan kedok paling tak masuk akal. Produksi film fiksi ilmiah berjudul Argo, yang konon akan mengambil lokasi syuting di Iran.
Tony Mendez, diperankan dengan apik oleh Ben Affleck, menjadi arsitek dari "operasi Hollywood" ini. Ia menyamar sebagai produser film Kanada, Kevin Harkins, dan menyusup ke jantung gejolak Revolusi Iran demi menyelamatkan enam nyawa yang terancam. Intrik yang dibangun tak hanya menegangkan, tapi juga sarat simbol: fiksi menjadi pelindung realita.
Argo menempatkan sinema dalam peran strategis sebagai alat diplomasi klandestin. Penggunaan industri film sebagai penyamaran operasi intelijen adalah satire yang cerdas, menyiratkan bagaimana Hollywood dan CIA kerap berada dalam satu orbit kepentingan, terutama di era Perang Dingin dan konflik global.
Ketika dunia membeku dalam ketakutan dan diplomasi gagal berbicara, kisah fiksi bisa menjadi jembatan penyelamat. Argo membuktikan bahwa dalam kepanikan global, imajinasi dan keberanian bisa menciptakan harapan di tengah kebuntuan sejarah.
Estetika visual film ini terasa otentik, mulai dari tata kostum era 1970-an, arsitektur khas Teheran, hingga atmosfer paranoia yang ditampilkan dengan palet warna gelap dan teknik sinematografi handheld. Musik garapan Alexandre Desplat turut membangun aura ketegangan yang intens namun elegan.
Konflik Iran--Amerika Serikat dalam film ini sejatinya bukan sekadar benturan geopolitik, namun konflik naratif antara dua peradaban: demokrasi liberal dan teokrasi revolusioner. Rakyat Iran dalam film digambarkan marah atas perlindungan AS kepada Shah Mohammad Reza Pahlavi, simbol tirani yang mereka gulingkan.
Menariknya, Argo secara implisit memosisikan Kanada sebagai mediator, penyelamat diam-diam di antara kekacauan dua negara adidaya. Tokoh Ken Taylor menjadi simbol dari diplomasi yang tenang namun efektif. Kontras dengan CIA yang mengandalkan kelicikan dan sandiwara.
Dalam konteks sinema politik, Argo menjadi preseden penting bagaimana sinema bisa membangun narasi hegemoni. Film ini, meski menegangkan dan berangkat dari kisah nyata, tetap menyisakan pertanyaan etis tentang representasi Iran yang nyaris seragam, yaitu brutal, ekstrem, dan penuh kekacauan.
Di masa kini, ketika konflik antara Iran dan Israel kian memanas, dan Amerika Serikat terus menjadi aktor utama dalam peta konflik regional Timur Tengah, Argo menjadi relevan kembali. Film ini tak ubahnya semacam cermin retrospektif, mengingatkan publik akan akar sejarah ketidakpercayaan yang masih mengakar kuat.