Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Indonesia Bisa Jadi Raksasa Industri Halal, Mengapa UMKM Malas Urus Sertifikat?

28 Mei 2025   11:32 Diperbarui: 28 Mei 2025   11:32 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemendesakan sertifikasi halal dan pembudayaan halal sebagai lifestyle di Indonesia (Sumber: cnbcindonesia.com)

Kasus viral Ayam Goreng Widuran di Solo yang ternyata digoreng menggunakan minyak babi merupakan pukulan keras terhadap kredibilitas sistem jaminan produk halal di Indonesia. Kejadian ini bukan hanya soal pelanggaran hukum pidana konsumen, tetapi juga mencerminkan lemahnya pengawasan, rendahnya kepatuhan pelaku usaha, dan minimnya literasi masyarakat terhadap urgensi sertifikasi halal. Di tengah populasi Muslim terbesar di dunia, pelanggaran semacam ini seharusnya tidak boleh terjadi lagi.

Indonesia sudah semestinya menempatkan sertifikasi halal bukan hanya sebagai kewajiban administratif, melainkan sebagai instrumen perlindungan umat. Konsumen Muslim memiliki hak fundamental untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan keyakinan agamanya. Karena itu, penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang lalai atau sengaja mengabaikan kewajiban sertifikasi halal harus ditegakkan secara tegas, tanpa pandang bulu.

Ironisnya hingga hari ini, tantangan utama percepatan sertifikasi halal di Indonesia bukan terletak pada jumlah auditor halal. Dari data Kementerian Agama, saat ini terdapat 1.300 auditor bersertifikat yang tersebar di 94 Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Ini merupakan jumlah yang cukup untuk mengakselerasi proses sertifikasi. Masalah sebenarnya justru berada pada sisi pelaku usaha yang enggan atau abai mengurus sertifikat halal.

Dari sekitar 32 juta pelaku usaha di Indonesia, baru sekitar 50 persen yang aktif dalam proses sertifikasi halal. Sisanya masih berada dalam zona nyaman karena merasa bahwa produk mereka tetap laku di pasaran meski tanpa label halal. Ini adalah bentuk kelalaian kolektif yang berisiko besar, baik secara ekonomi maupun sosial. Apalagi di era keterbukaan informasi, kepercayaan konsumen adalah aset utama.

Sertifikasi halal bukan sekadar stempel, namun wujud tanggung jawab moral, perlindungan konsumen, dan jalan menuju keberkahan usaha. Ketika halal menjadi budaya, maka kepercayaan, kredibilitas, dan daya saing Indonesia di pasar global akan tumbuh tak terbendung. 

Khusus di kalangan UMKM, banyak pelaku usaha yang memandang sertifikasi halal sebagai beban administratif yang rumit dan menguras waktu. Pandangan ini muncul bukan karena mereka anti terhadap halal, tetapi lebih karena minimnya literasi dan edukasi. Mereka tidak mengetahui bahwa sertifikat halal justru membuka peluang pasar yang lebih luas, termasuk ekspor ke negara-negara Muslim.

Inilah tantangan literasi halal yang menjadi pekerjaan rumah terbesar kita bersama. Edukasi mengenai halal masih belum menjadi arus utama dalam pembinaan UMKM dan pelatihan wirausaha. Padahal, halal adalah isu yang sangat dekat dengan identitas, etika, dan keberkahan bisnis. Ketika pelaku usaha paham nilai tambah dari sertifikat halal, mereka justru akan berlomba-lomba untuk memperolehnya.

Sayangnya, gerakan literasi halal saat ini masih bersifat sporadis dan seremonial. Kita memerlukan pendekatan sistematis dan terintegrasi. Edukasi halal harus masuk ke kurikulum pendidikan kejuruan, pelatihan prakerja, program inkubasi UMKM, dan media dakwah. Media massa dan tokoh agama juga harus menjadi bagian dari gerakan ini agar halal menjadi budaya, bukan sekadar regulasi.

Tak kalah penting adalah aspek digitalisasi. Saat ini, pengajuan sertifikasi halal telah difasilitasi melalui Sihalal, aplikasi layanan berbasis web dari Kementerian Agama. Namun, banyak UMKM yang belum terbiasa dengan sistem digital. Mereka mengalami kesulitan teknis dalam mengunggah dokumen, mengisi formulir online, dan memahami alur verifikasi. Tanpa pendampingan yang memadai, digitalisasi justru akan menjadi penghambat.

Untuk itu, pemerintah dan lembaga keagamaan harus berkolaborasi dalam memberikan pelatihan literasi digital halal secara massif. Program pendampingan berbasis komunitas atau klaster UMKM bisa menjadi solusi jitu agar pelaku usaha merasa tidak sendirian dalam proses ini. Dengan begitu, keberadaan aplikasi seperti Sihalal bisa dimanfaatkan secara optimal.

Lebih luas dari itu, kita perlu membangun ekosistem halal yang berkelanjutan. Ekosistem ini tidak hanya terdiri dari pelaku usaha dan auditor, tetapi juga konsumen, regulator, akademisi, dan komunitas lokal. Dengan membentuk Kampung Halal, zona industri halal, serta koperasi halal, kita bisa menciptakan lingkungan sosial yang mendukung tumbuhnya ekonomi syariah secara lebih merata dan inklusif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun