Pada Rabu, 7 Mei 2025, dunia kembali dikejutkan oleh ketegangan klasik yang meledak di Asia Selatan. India meluncurkan rudal ke enam titik di wilayah Kashmir yang dikuasai Pakistan, menewaskan 26 orang dan melukai sedikitnya 38 lainnya. Tak lama berselang, Pakistan merespons dengan menjatuhkan tiga jet tempur Rafale milik India. Aksi saling serang ini menegaskan kembali betapa rapuhnya perdamaian di kawasan yang menyimpan sejarah panjang permusuhan.
Dalam siaran langsung di Islamabad, Perdana Menteri Pakistan, Shehbaz Sharif, menyatakan bahwa tindakan India merupakan "pernyataan perang". Meski belum ada pengumuman resmi dari New Delhi mengenai skala operasi yang disebut sebagai Operasi Sindoor, eskalasi militer ini membawa kembali dunia pada kekhawatiran lama, yaitu kemungkinan pecahnya perang terbuka antara dua negara bersenjata nuklir.
Wilayah Kashmir telah lama menjadi titik api yang membara di bawah permukaan. Disputenya melibatkan identitas nasional, sejarah kolonial, dan kepentingan geopolitik. Namun, tindakan militer sepihak India dan respons agresif Pakistan bukan hanya mencederai keamanan regional, melainkan juga mengguncang bangunan perdamaian dunia yang telah rapuh sejak Perang Ukraina dan konflik di Timur Tengah.
Perdamaian bukan sekadar ketiadaan perang, melainkan keberanian untuk membangun keadilan dalam bayang-bayang luka sejarah.
Dalam kacamata teori bina damai (peacebuilding), tindakan militer hanya memperpanjang luka kolektif dan menutup ruang bagi rekonsiliasi yang berkelanjutan. Johan Galtung, perintis teori ini, mengajukan pendekatan struktural yang menyentuh akar kekerasan dan menekankan pembangunan kapasitas sosial-politik yang inklusif. Sayangnya, baik India maupun Pakistan kerap terjebak dalam narasi nasionalistik yang mengagungkan kemenangan militer sebagai simbol kedaulatan.
Ketegangan seperti ini bukan hal baru. Namun situasinya kini jauh lebih berbahaya. Keduanya merupakan negara bersenjata nuklir dengan populasi besar, sejarah konflik berdarah, dan tekanan domestik tinggi. Ketika sistem demokrasi di dua negara itu diuji oleh konflik luar, sentimen rakyat yang marah kerap menjadi bahan bakar bagi kebijakan agresif elite politik.
Masyarakat internasional harus bersuara. Dewan Keamanan PBB perlu segera mengadakan sidang darurat dan menyerukan penghentian kekerasan. ASEAN yang selama ini netral, tidak bisa terus bersikap diam. India dan Pakistan adalah mitra dagang penting bagi banyak negara Asia Tenggara. Stabilitas kawasan bukan sekadar isu bilateral.
Solusi damai hanya mungkin jika kedua negara menghidupkan kembali jalur diplomasi yang sudah lama mati suri. Jalur komunikasi militer, mekanisme perundingan lintas batas, serta keterlibatan pihak ketiga yang netral perlu segera diaktifkan. Negara seperti Indonesia, dengan rekam jejak diplomasi damai dan hubungan baik dengan kedua pihak, bisa memainkan peran penting sebagai mediator.
Lebih jauh, pembinaan perdamaian di Kashmir harus melibatkan masyarakat sipil kedua negara. Tokoh lintas agama, akademisi, jurnalis, dan aktivis kemanusiaan bisa menjadi kekuatan penyeimbang terhadap provokasi elite militer dan politik. Karena hanya melalui kepercayaan sosial dan keberanian mengakui penderitaan bersama, rekonsiliasi sejati bisa terjadi.
Ketika dua bangsa bersenjata memilih dialog, mereka bukan menunjukkan kelemahan, tapi kebijaksanaan yang menyelamatkan generasi.
Konflik ini juga menjadi pelajaran penting bagi dunia. Bahwa perdamaian tidak cukup dijaga dengan senjata, tetapi perlu ditopang oleh keadilan, kesetaraan, dan dialog yang berkelanjutan. Selama akar ketidakadilan di Kashmir tidak diurai, konflik ini akan terus menjadi bara dalam sekam yang siap meledak kapan saja.