Munculnya tagar #KaburAjaDulu di media sosial mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap stagnasi ekosistem riset dan inovasi di Indonesia. Ungkapan ini bukan sekadar lelucon sarkastik, tetapi cerminan dari realitas yang dihadapi banyak ilmuwan dan peneliti di negeri ini. Mereka yang bertahun-tahun mengabdikan diri dalam penelitian, khususnya di bidang nuklir, kini dihadapkan pada dilema. Tetap bertahan di Indonesia dengan segala keterbatasan atau pergi ke luar negeri demi peluang yang lebih baik.
Ironisnya pada 2019, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) justru mencatat prestasi luar biasa dengan menjadi satu-satunya institusi di dunia yang ditunjuk oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) sebagai collaborating center dalam pengembangan teknologi nuklir. Hal ini mengindikasikan bahwa penguasaan teknologi nuklir Indonesia diakui secara global, baik dalam uji nuklir tak merusak, pemuliaan tanaman berbasis radiasi, maupun aplikasi untuk pengobatan dan kedokteran. Namun, pengakuan ini tidak berbanding lurus dengan dukungan yang diberikan oleh negara terhadap pengembangan ekosistem risetnya.
Jika riset dan inovasi tak diberi ruang untuk berkembang, maka yang berkembang justru keinginan para ilmuwan untuk pergi.
Sejumlah kendala fundamental menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir di Indonesia. Salah satunya adalah minimnya anggaran riset yang dialokasikan pemerintah. Data menunjukkan bahwa persentase belanja riset terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Jika Jepang dan Korea Selatan mengalokasikan lebih dari 3 persen PDB mereka untuk riset, Indonesia masih berkutat di angka kurang dari 0,5 persen. Keterbatasan anggaran ini membuat para peneliti kesulitan dalam mengakses fasilitas laboratorium, pengadaan bahan baku, hingga biaya publikasi ilmiah di jurnal internasional.
Alih-alih memperkuat institusi riset, kebijakan yang diambil pemerintah justru memperburuk keadaan. Peleburan BATAN, LIPI, LAPAN, dan beberapa lembaga riset lainnya ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sejak 2021 menimbulkan ketidakpastian struktural dan birokrasi baru. Para peneliti kehilangan kepastian dalam keberlanjutan penelitian, sementara sistem administrasi yang rumit memperlambat pencairan dana riset. Akibatnya, banyak peneliti yang memilih untuk mencari peluang di luar negeri, di mana mereka dapat bekerja dengan dukungan fasilitas dan pendanaan yang lebih memadai.
Fenomena brain drain ini nyata terjadi. Sejumlah peneliti nuklir Indonesia kini berkarier di luar negeri, mengembangkan teknologi yang pada dasarnya bisa mereka lakukan di dalam negeri jika ekosistem riset mendukung. Sayangnya, para diaspora ini lebih dihargai di luar negeri dibandingkan di tanah air sendiri. Mereka mendapatkan akses ke laboratorium mutakhir, pendanaan yang cukup, dan kebebasan akademik yang lebih besar. Ini berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia, di mana para ahli yang tersisa kebanyakan sudah memasuki masa pensiun tanpa ada regenerasi yang jelas.
Namun di tengah gelombang "kaburnya" ilmuwan ke luar negeri, muncul pertanyaan lain, apakah mereka akan kembali? Sejarah membuktikan bahwa banyak diaspora ingin pulang dan berkontribusi jika ekosistem riset di dalam negeri cukup kondusif. Korea Selatan misalnya, berhasil menarik kembali ilmuwan mereka dengan menawarkan insentif, infrastruktur berkualitas, dan kebijakan riset yang jelas. Sayangnya di Indonesia, kebijakan semacam itu masih minim. Banyak diaspora yang enggan pulang karena melihat stagnansi yang masih terjadi dalam birokrasi riset nasional.
Daya saing teknologi nuklir bukan hanya soal mengirim orang belajar ke luar negeri, tetapi soal menciptakan ekosistem yang membuat mereka ingin bertahan dan kembaliÂ
Pemerintah perlu menyadari bahwa daya saing teknologi nuklir bukan hanya soal mengirim orang belajar ke luar negeri, tetapi juga menciptakan ekosistem yang mampu membuat mereka bertahan dan berkembang di dalam negeri. Hal ini membutuhkan komitmen serius dalam pendanaan riset, penyederhanaan regulasi, serta kebijakan yang berorientasi pada hasil. Jika tidak, Indonesia akan terus kehilangan talenta terbaiknya, dan prestasi seperti collaborating center IAEA hanya akan menjadi catatan sejarah yang tak berkelanjutan.
Di tengah dilema ini, masih ada harapan. Jika pemerintah berani mengambil langkah strategis, seperti meningkatkan insentif bagi peneliti, mempercepat modernisasi laboratorium, serta menciptakan ekosistem riset yang sehat, bukan tidak mungkin gelombang "pulang kampung" ilmuwan nuklir bisa terjadi. Jika tidak, tagar #KaburAjaDulu mungkin akan terus bergema, bukan hanya di media sosial, tetapi juga dalam realitas dunia riset Indonesia.