Era digital telah mengubah secara fundamental cara manusia hidup, belajar, bekerja, dan berinteraksi. Dengan satu sentuhan layar, dunia seakan berada dalam genggaman. Informasi mudah ditemukan, komunikasi menjadi instan, dan setiap yang berjarak tak lagi menjadi penghalang karena dapat dijangkau lewat pertemuan daring. Namun, di balik masifnya perkembangan akses konektivitas tersebut, muncul sebuah dualisme persepsi: apakah kemudahan akses digital ini benar-benar mendekatkan manusia, atau justru menjerumuskan mereka ke dalam jurang isolasi emosional yang tak kasat mata?
Kemudahan akses digital dapat dilihat sebagai peluang besar bagi masyarakat global. Dalam dunia pendidikan, digitalisasi memperluas jangkauan pembelajaran dan memberikan fleksibilitas kepada peserta didik untuk mengakses informasi tanpa batas. Di sektor ekonomi, teknologi digital membuka lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif. Tidak kalah penting, dalam aspek sosial, media digital memungkinkan individu tetap terhubung dengan keluarga maupun teman, meskipun terpisah jarak dan waktu. Menurut laporan We Are Social (2025), pengguna media sosial global kini mencapai 5,24 miliar, setara dengan 63,9 persen dari seluruh penduduk Bumi. Hal tersebut menunjukkan betapa luasnya potensi digitalisasi dalam mendorong produktivitas dan inovasi yang merambah ke setiap sektor yang dibutuhkan oleh manusia.
Bersamaan dengan berbagai manfaat dan kemudahan akses tersebut, teknologi digital juga membawa dampak psikososial yang signifikan. Di tengah derasnya arus informasi dan komunikasi digital, banyak individu yang merasa kesepian, terisolasi, dan kehilangan makna dalam hubungan sosial. Penggunaan media sosial menghasilkan fenomena yang dikenal sebagai "Alone together." Istilah ini diperkenalkan oleh Sherry Turkle (Mush'ab, 2025), seorang profesor studi sosial di Massachusetts Institute of Technology, menyoroti bagaimana teknologi membuat manusia mengalami fenomena "sendiri bersama". Meskipun secara teknis terkoneksi, akan tetapi banyak individu justru merasa kesepian secara emosionalnya. Percakapan yang dulunya intens dan penuh makna kini telah berevolusi menjadi notifikasi singkat, emoji, atau reaksi digital.
Media sosial sebagai salah satu bentuk utama dari konektivitas digital, sering kali menciptakan bentuk penyangkalan dari sebuah kedekatan. Interaksi yang terjadi di dalamnya tidak selalu mencerminkan kebermaknaan suatu hubungan yang sesungguhnya. Bahkan, pengguna cenderung membandingkan hidup mereka dengan kehidupan yang tampak ideal di media sosial, yang sering kali dijadikan standar tertentu dalam kehidupan. Fenomena ini berpotensi meningkatkan kecemasan dan menurunkan kepuasan hidup individu karena mereka terus membandingkan diri dengan orang lain di media sosial (Puspitasari et al., 2025). Intensitas penggunaan media sosial yang tinggi juga menyebabkan buruknya kualitas interaksi langsung. Remaja semakin sibuk dengan ponselnya dan tidak mengindahkan lingkungan sekitar (Mujianto & Nurhadi, 2024).
Namun, terasa tidak adil jika kita menyalahkan teknologi sepenuhnya karena digitalisasi bukanlah entitas yang sepenuhnya merusak. Akar persoalan bukanlah pada perangkat digital itu sendiri, melainkan pada pola penggunaan dan kesadaran dalam berteknologi. Jika digunakan secara bijak dan proporsional, teknologi digital dapat menjadi sarana untuk mendukung kesehatan mental, misalnya melalui layanan konseling daring, komunitas pendukung berbasis digital, dan kampanye literasi emosional yang menjadi ruang nyaman untuk berbagi cerita, mendapatkan dukungan sosial, atau membangun resiliensi diri yang tangguh. Maka yang dibutuhkan adalah pendekatan yang bijak dan berimbang, yang menempatkan kemanusiaan sebagai pusat dalam penggunaan teknologi.
Dengan demikian, kemudahan akses digital adalah peluang yang berharga dalam era modern sebagai peluang besar bagi kemajuan, kolaborasi, dan efisiensi dalam banyak aspek kehidupan, namun tanpa kesadaran sosial dan emosional yang memadai, ia juga berpotensi menjerumuskan individu ke dalam manifestasi dari isolasi diri dalam keterasingan. Maka yang menjadi hal yang paling krusial adalah bagaimana manusia memanfaatkan teknologi tersebut. Digitalisasi yang disertai dengan literasi digital dan kesadaran emosional dapat menjadi alat pemberdayaan, bukan keterasingan. Pendekatan berbasis humanistik dalam penggunaan teknologi perlu ditekankan agar keseimbangan antara konektivitas digital dan kedekatan emosional tetap terjaga. Sebagaimana dikatakan oleh Marshall McLuhan, "We shape our tools and thereafter our tools shape us" (Rosidah & Herawati, 2013). Teknologi akan mencerminkan nilai-nilai kita. Maka, tugas kita bukan sekadar mengakses dunia digital, tetapi juga memastikan bahwa dalam dunia itu kita tetap menjadi manusia yang utuh secara emosional.
REFERENSI
DIGITAL 2025: THE ESSENTIAL GUIDE TO THE GLOBAL STATE OF DIGITAL. Dalam https://wearesocial.com/us/blog/2025/02/digital-2025-the-essential-guide-to-the-global-state-of-digital/
Mujianto, H., & Nurhadi, Z. F. (2024). Dampak Media Sosial Terhadap Budaya Pembentukan Budaya "Alone Together." Scriptura, 13(2), 120--128. https://doi.org/10.9744/scriptura.13.2.120-128
Mush'ab, M. (2025). Kontribusi Kecemasan Sosial terhadap Alone Together pada Mahasiswa Pengguna Instagram di Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin. Jurnal Al-Husna, 5(3), 183--195. https://doi.org/10.18592/jah.v5i3.14264
Puspitasari, C. A., Alwin, D. A., Kamaludin, M., Pratama, M. R., & Azahra, S. A. (2025). Pengaruh Fenomena Fear Of Missing Out (Fomo) Terhadap Tingkat Kecemasan Dan Kepuasan Hidup Mahasiswa Gen Z Di Media Sosial. Jiic: Jurnal Intelek Insan Cendikia, 2(1), 1298--1310. https://jicnusantara.com/index.php/jiic
Rosidah, R., & Herawati, E. (2013). Pola Komunikasi Mahasiswa dalam Penggunaan Smartphone (Studi pada Mahasiswa Marketing Communication Fek Binus University). Humaniora, 4(2), 883. https://doi.org/10.21512/humaniora.v4i2.3519
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI