Saya masih ingat betul, waktu pertama kali mendengar tentang Sekolah Adab Insan Mulia (SAIM) Lampung, jujur saya sempat ragu. Katanya, anak-anak di sini masuk sekolah jam 06.00 pagi. Saya berpikir, "Mana mungkin anak saya yang baru kelas 1 SD bisa bangun sepagi itu? Bahkan saya sendiri sering kesiangan."
Tapi ternyata, justru anak saya yang membuktikan bahwa saya salah.
Pagi yang Tak Lagi Biasa
Dulu, setiap pagi adalah drama. Bangunin anak itu perjuangan. Kadang sampai harus pakai ancaman, kadang dengan iming-iming sarapan enak. Tapi sejak sekolah di SAIM, semua berubah.
Sekarang, justru dia yang membangunkan saya. "Pa, ayo bangun, nanti kita telat doa pagi," katanya sambil menarik selimut saya. Rasanya campur aduk: antara malu dan haru.
Begitu sampai sekolah, suasana memang berbeda. Anak-anak duduk rapi, meski beberapa masih menguap. Guru memulai dengan doa singkat, tilawah, lalu nasihat tentang adab. Saya lihat anak saya mendengarkan dengan serius, meski matanya masih agak berat. Tapi dari wajahnya, saya tahu: dia merasa ini penting.
Mengapa Saya Bertahan?
Setelah beberapa bulan, saya menyadari hal-hal kecil yang berubah:
- Anak saya lebih sopan saat berbicara dengan orang tua.
- Dia mulai terbiasa memberi salam setiap masuk rumah.
- Bersalaman sembari mencium tangan dan memeluk dengan penuh perasaan.
Nilai rapor? Jujur, itu jadi nomor dua sekarang. Karena buat saya, punya anak yang beradab jauh lebih membahagiakan daripada sekadar angka tinggi di kertas.