ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (٤١)
Terjemahan Kemenag 2019
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS. Ar-Rum: 41)."
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. Kalimat ini terdengar seperti jeritan bumi yang sudah terlalu lama memendam luka. Ayat ini, dengan ringkas dan tajam, menyentak kesadaran kita. Kerusakan itu bukan tanpa sebab. Allah menyatakan dengan jelas, bahwa itu semua adalah akibat dari ulah tangan manusia sendiri: bim kasabat aydin-ns.
Ibnu 'Asyur dalam At-Tahrir wa at-Tanwir menyebut ayat ini sebagai satu dari kalimat-kalimat Qur'an yang padat makna dan sarat hikmah. Letaknya yang strategis di tengah-tengah Surah Ar-Rum, seolah menjadi jeda perenungan di antara kisah peradaban yang hancur, peringatan tentang akhirat, dan ajakan untuk kembali kepada fitrah. Ayat ini menjadi semacam kesimpulan atas mengapa musibah itu hadir: bukan karena takdir buta, tetapi sebagai buah dari tindakan kita sendiri.
Makna fasd dalam ayat ini tak sekadar menunjuk pada kehancuran fisik semata. Ia mencakup semua bentuk ketidakseimbangan dan kerusakan pada sistem yang Allah tetapkan, baik dalam alam, sosial, bahkan spiritual. Tafsir Kemenag menyebut, kerusakan di darat bisa berupa kegagalan panen, kebakaran hutan, hilangnya flora-fauna, peperangan, hingga eksploitasi tanah. Di laut, kerusakan itu bisa berbentuk menurunnya populasi ikan, pencemaran air, dan perubahan arus laut yang tak lagi alami. Bahkan, kota-kota besar---yang disebut sebagai "laut" dalam beberapa penafsiran seperti oleh Mujahid dan 'Ikrimah---tak luput dari kehancuran akibat kerakusan manusia.
Ar-Razi menyelami ayat ini lebih dalam dengan pendekatan maqashid al-syari'ah, bahwa segala bentuk kerusakan yang terjadi di bumi sejatinya adalah pelanggaran terhadap lima prinsip perlindungan utama dalam syariat: agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Maka saat manusia mulai menghalalkan kekerasan, mempermainkan hukum, memanipulasi ilmu, atau menindas sesama, sesungguhnya mereka sedang menggali lubang kehancuran sendiri.
Namun, meski kerusakan itu nyata dan menyakitkan, Allah tetap membuka ruang harapan. Ditegaskan bahwa Allah hanya menimpakan "sebagian dari akibat perbuatan mereka" agar mereka merasa dan sadar. Kata liyudzqahum dalam ayat ini ibarat rasa pahit di lidah yang membuat seseorang sadar bahwa ada yang tidak beres dalam tubuhnya. Penderitaan yang dirasa adalah bentuk kasih sayang Allah, bukan kebencian. Sebab jika Allah mengazab mereka sesuai seluruh dosa yang mereka lakukan, tak akan tersisa satu makhluk pun hidup di muka bumi ini (QS Fathir: 45).
Tujuan dari semua ini hanya satu: agar manusia kembali. La'allahum yarji'n. Sebuah harapan lembut dari Sang Pencipta, yang tetap menanti hamba-Nya kembali walau berkali-kali berkhianat. Seperti seorang ayah yang menegur anaknya bukan karena benci, tetapi karena tak ingin sang anak binasa.
Tadabbur ayat ini mengajak kita untuk menengok sekitar: saat bumi mulai panas, air mulai sulit, pangan mulai langka, dan manusia saling memangsa, jangan terburu-buru menyalahkan "zaman". Sebab dalam ayat ini Allah telah menegaskan, kerusakan itu bukan datang dari luar, tapi dari tangan kita sendiri.
Maka barangkali, bukan hanya doa yang perlu kita panjatkan agar dunia ini membaik, tetapi juga perubahan nyata---dimulai dari diri sendiri, lalu perlahan mengajak orang lain menuju kebaikan. Yaitu dengan kembali kepada aturan Allah, menjaga amanah bumi, dan membersihkan jiwa dari kerakusan yang selama ini menjadi akar dari berbagai kerusakan yang tampak.