Mohon tunggu...
muhammad gibran hiumar
muhammad gibran hiumar Mohon Tunggu... mahasiswa

seorang pemikir kreatif yang selalu haus akan ide segar dan tantangan baru.menyukai percakapan bermakna,tulisan yang menggugah,dan segala hal yang bisa menginspirasi perubahan keciltapi berdampak besar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rakyat Melawan Perks' DPR: Krisis Kersejahteraan,Kemarahan Publik

8 September 2025   00:57 Diperbarui: 8 September 2025   00:57 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senin,01-09-2025 Mahasiswa IAIN Ternate berbalut jas almamater hijau ,melakukan kesiapan menyuarakan aspirasi di kantor DPRD.(Sumber:open foto pribadi

Rakyat Melawan 'Perks' DPR, sebuah narasi yang tak lekang oleh waktu, kini kembali mengemuka di tengah sorotan tajam publik. Pemandangan kontras antara kemewahan yang dinikmati para wakil rakyat dan realitas pahit krisis ekonomi yang dihadapi masyarakat semakin memicu amarah. Ketika rakyat berjuang mati-matian untuk memenuhi kebutuhan dasar, alih-alih merasakan empati, mereka justru disuguhkan deretan fasilitas "ekstra" yang jauh dari kata pantas. Isu ini mencerminkan jurang lebar antara janji politik dan implementasi di lapangan. Publik merasa dikhianati, janji-janji kampanye tentang kesejahteraan rakyat kini hanya terasa seperti dongeng. Fenomena ini bukan hanya tentang anggaran, tetapi tentang luka keadilan yang menganga. Untuk memahami lebih dalam, mari kita telisik sejarah panjang isu ini dalam laporan Sejarah Fasilitas DPR.

Mengapa 'Perks' DPR Begitu Menyakitkan?

Pertanyaannya bukan lagi apakah fasilitas tersebut diperlukan, tetapi mengapa fasilitas itu terasa sangat melukai hati rakyat? Alasannya sederhana: karena Rakyat Melawan 'Perks' DPR adalah respons terhadap ketidakpekaan. Di saat jutaan orang kesulitan mendapatkan pekerjaan, harga pangan melonjak, dan pendidikan layak masih menjadi barang mahal, wakil rakyat justru sibuk memikirkan tunjangan, mobil mewah, hingga renovasi gedung yang menghabiskan triliunan rupiah.

Kemarahan ini bukanlah sekadar cemooh di media sosial, melainkan luapan frustrasi yang menumpuk. Ini adalah cerminan dari kegagalan negara dalam mengelola prioritas. Anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, subsidi pangan, atau jaminan kesehatan, malah menguap untuk memperkaya segelintir elite. Ini menunjukkan adanya disorientasi akut dalam pengambilan kebijakan, di mana kepentingan pribadi atau golongan lebih diutamakan daripada kepentingan publik.

Mendefinisikan Ulang Kesejahteraan dan Keadilan

Fenomena ini sejatinya mengajak kita untuk meninjau kembali makna kesejahteraan dan keadilan. Kesejahteraan bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi makro, tetapi juga tentang bagaimana manfaat pembangunan dapat dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Sementara itu, keadilan bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga tentang bagaimana sumber daya negara dialokasikan secara adil.

Kemarahan publik ini seharusnya menjadi lonceng peringatan bagi para elite politik. Ini adalah kesempatan untuk melakukan introspeksi mendalam, menghentikan kebiasaan lama, dan mulai fokus pada masalah-masalah substansial yang dihadapi rakyat. Dibutuhkan komitmen politik yang kuat untuk memangkas anggaran tidak produktif dan mengalihkannya ke sektor-sektor prioritas yang menyentuh langsung kehidupan rakyat.

Pemerintah dan DPR perlu bersinergi untuk menciptakan kebijakan yang benar-benar pro-rakyat. Salah satunya adalah dengan mengkaji ulang kebijakan ekonomi yang sering kali bias terhadap kelompok kaya, dan mulai mengadopsi model yang lebih inklusif. Contohnya bisa dilihat pada kebijakan subsidi tepat sasaran yang berhasil di negara lain. Selain itu, transparansi anggaran juga menjadi kunci. Masyarakat berhak tahu setiap sen uang pajak mereka digunakan untuk apa. Gerakan masyarakat sipil juga memiliki peran penting, seperti yang dicontohkan pada aksi kolektif menuntut transparansi anggaran.

Narasi Rakyat Melawan 'Perks' DPR adalah pengingat bahwa kekuasaan datang dengan tanggung jawab besar. Jika para wakil rakyat gagal memahami esensi dari tanggung jawab tersebut, maka yang akan terjadi bukanlah konsolidasi demokrasi, melainkan erosi kepercayaan yang akan sulit untuk dipulihkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun