Mohon tunggu...
Muhammad Fikri Aminullah
Muhammad Fikri Aminullah Mohon Tunggu... Musisi - Mahasiswa

Mimpiku akan menjadi kenyataan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Problematika RUU-KUHP Indonesia

9 Oktober 2019   00:06 Diperbarui: 9 Oktober 2019   03:54 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

RUU KUHP yang banyak disepakati oleh panitia kerja(paker) dan pemerintahan ini sejatinya hanya menunggu disahkan dan dirapatkan paripurna DPR. Namun, dibalik itu semua banyaknya penolakan dari public dan membuat presiden jokowi meminta agar pengesahannya di tunda hingga DPR RI periode 2019-2024.

Pembahasan lebih lanjut RUU KUHP melalui keputusan DPR memantik protes keras dari berbagai  elemen masyarakat. Mekipun parlemen sudah memutuskan untuk menunda hukum tersebut, dan aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia tetap tidak kondusif.

RUU KUHP diprotes dari kalangan masyarakat karna membuat pasal-pasal yang controversial untuk minimal delapan urusan pidana. Delapan urusan pidana itu adalah makar, penodaan agama, aborsi, hubungan sexs diluar nikah, gelandangan dan psikososial, tindak pidana korupsi, kebebasan pers, serta adanya hukuman mati.

Pakar hukum pidana UI Harkristui Harkrisnowo menyatakan, rancangan KUHP yang digodek pemerintah dan DPR sudah melalui banyak pedebatan panjang dengan sejumlah pihak terkait. Demikian juga dengan pasal-pasalnya yang dinilai controversial dan banyak diperdebatkan.

Harkristui yang juga tim ahli RUU KUHP ini menyatakan, sejumlah pasal-pasal yang dipersoalkan sebenarnya sudah ada disebelumnya. Hanya saat ini melakukan penyempurdnaan. Harkristui menambahkan perumusan RUU KUHP beriorientasi untuk kebaikan social masyarakat.

Salah satu yang bermasalah dalam RUU KUHP adalah dugaan akan memanjakan koruptor. Sejumlah pasal yang mengatur tindak pidana korupsi di RUU KUHP justru dilengkapi dengan hukuman yang lebih ringan dibanding UU nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi atau UU tipikor

Dalam pasal 604 RUU KUHP, disebutkan seorang koruptor dihukum minimal penjara 2 tahun dan minimal denda sepuluh juta rupiah. Sementara dalam pasal 2 UU tipikir yang memiliki rumusan sama persis hukuman penjara itu minimal 4 tahun dan denda minimal satu miliar rupiah.

RUU KUHP juga tidak mengatur mekanisme pengembalian kerugian Negara. Dan lalu untuk poin pertama, soal perumusan RKUHP kembali memasukkan tindak pidana penghinaan terhadap presiden,wakil presiden, dan pemerintahan yang sah. Alasan mengapa  perumusan tetap  menyertakan pasal ini adalah karna "presiden merupakan simbol Negara".

Lalu untuk poin kedua, soal makar,RKUHP lewat pasal 181, mendefisinikannya sebagai "niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya pemulaan pelaksanaan perbuatan tersebut. Dan pada hakikatnya, Asal kata 'makar' yaitu anslaag yang berarti 'serangan'.

Dan disisi lain, Asrul menilai keputusan pembatalan pengesahan RUU KUHP tidak menghambat upaya DPR dan pemerintahan untuk menuntaskan pembahasan beleid tersebut yang paling lambat jatuh 2019.

Banyak celah sana sini terlepas dari penundaan itu, Sejak awal RKUHP memang tak luput dari kontroversi. sebab, jika nanti disahkan, keberadaan pasal-pasal didalamnya berprotensi besar mengkriminalisasikan masyarakat dalam banyak hal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun