Mohon tunggu...
Muhammad Farras Shaka
Muhammad Farras Shaka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Free mind, reflective, and critical.

Seorang terpelajar mesti adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hakikat Seorang Intelektual

8 April 2022   15:09 Diperbarui: 8 April 2022   15:12 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

 

 "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan."

-Pramoedya Ananta Toer-

 Intelektual "menara gading"

Banyak yang menyangka kalau kaum intelektual itu "mendekam" di perguruan-perguruan tinggi saja, mereka bagaikan mahluk genius berbahasa ndakik yang memublikasikan  buku-buku atau jurnal-jurnal dengan "sandi-sandi akademis" yang sama sekali orang biasa seperti kita tidak pahami apa makna serta tujuannya. Kaum intelektual seringkali distigmatisasi sebagai mereka yang berkepala plontos dan ekslusif khas penghuni menara gading, akan tetapi, apakah memang seperti itu gambaran yang akurat dari seorang intelektual sejati?

Memang, ada orang-orang yang karena kecerdasan intelektualnya dia tidak bisa lagi berkoneksi dengan mereka-mereka yang strata intelektualnya berada di bawahnya, saking ia merasa dirinya adalah mahluk ter-intelek di muka bumi maka ia merasa tiada lagi waktu di dunia ini yang boleh dihabiskan kecuali untuk perkara-perkara scientific yang tentu saja ndakik-ndakik. Karena kemantapan kapasitas intelektualnya, seringkali beberapa orang kehilangan kehangatannya terhadap manusia lainnya yang ada dihadapannya, kehangatan artinya adalah sikap memperlakukan orang sesuai apa yang menjadi niche-nya atau sumber kesenangannya, karena akan menjadi sangat lucu apabila kita berbicara berbusa-busa tentang teori kapitalisme klasik kepada tukang bakso di pinggir jalan, ya memang penting kok, namun masalahnya, apakah kita tepat dalam memilih sasaran pembicaraan kita? Singkatnya, banyak orang-orang cerdas yang mendekamkan dirinya di "menara gading" yang ekslusif, mereka hanya mampu berkoneksi dengan manusia-manusia lainnya yang memiliki kapasitas yang sama dengannya, padahal hakikatnya, tidak semua manusia di dunia ini memiliki kapasitas intelektual yang setinggi itu, disinilah justru letak kenikmatannya. Andaikan kehidupan ini hanya soal otak saja, kapan lagi kita akan mampu menangis melihat mereka yang termarjinalkan? Kapan kita mau membuka hati dan menyingsingkan lengan kita untuk turun gunung membantu mereka yang sedang mengalami kesusahan? Ini semua aktivitas yang melibatkan peran kemampuan "merasa" yang tinggi. Andaikan kehidupan ini hanya soal otak saja, kapan kita bisa berhubungan dengan Tuhan? Ini semua aktivitas yang memerlukan kemampuan spiritual yang seimbang dengan kemampuan lainnya. Oleh karenanya, kecerdasan yang seimbang adalah keseimbangan antara IQ (Intellectual Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), dan kalau kata guru saya, ada satu quotient yang tak kalah penting yakni RQ (Receh Quotient). Keseimbangan antara kemampuan intelektual, kemampuan emosional, kemampuan spiritual, serta kemampuan melucu akan melahirkan manusia yang mampu menjadi pencerah bagi manusia lainnya karena ilmunya yang banyak, dan juga ia paham bagaimana caranya mengartikulasikan pengetahuan ilmiah yang dimilikinya menuju bahasa yang lebih membumi dan oleh karenanya mudah untuk dipahami oleh orang banyak, ia juga bisa diajak bercanda-tawa bersama-sama, bisa diajak nongkrong, dan dengan kemampuan ia untuk bisa diajak nongkrong ini dia membuat kegiatan nongkrong tidak menjadi sia-sia oleh karena dia akan menyelipkan mutiara-mutiara hikmah dengan pendekatan yang cerdas. Intelektual yang seimbang seperti ini pasti akan turun gunung dan berbaur dengan masyarakat, dia justru terpanggil hatinya untuk berbaur dengan masyarakat oleh karena dia tidak akan segan menampung dan menelan sendiri ilmu-ilmunya, dia sadar bahwa dia dibebani tanggungjawab untuk mencerahkan manusia lainnya.

Bagaikan manusia yang baru keluar dari gua yang gelap....

Seorang intelektual itu bagaikan seseorang yang terjebak didalam gua yang gelap kemudian ia berhasil keluar dari gua dan melihat betapa indah dan luasnya dunia serta isinya, ia terperangah tentang betapa nikmatnya mendapatkan udara segar setelah berapa lama sesak didalam gua, begitulah berkah yang diterima seorang intelektual yang tercerahkan, Tuhan memberinya nikmat berupa nur ilmu pengetahuan. Akan tetapi, dengan tercerahkannya ia, ia akan merasa terpanggil untuk membangunkan mereka yang masih hidup didalam gua dan masih menyangka gua tersebutlah yang sebetulnya sejati, disinilah akhirnya seorang intelektual yang sudah mencicipi makna dari ilmu yang sejati untuk mengajaknya keluar dari kegelapan dan membimbingnya menuju cahaya kesejatian.

Mereka yang masih didalam gua merasa bahwa kehidupan yang sejati ada didalam hartanya, ada didalam kemewahannya, ada didalam mobil sportnya, dan ada di hal-hal yang sejatinya akan lenyap. Bagi orang yang menganggap gua itulah yang sejati, ilmu hanyalah jalan menuju kekayaan, proses menuntut ilmu akan selesai di bangku perkuliahan, setelah lulus dan mendapat gelar sarjana ia akan menutup buku-bukunya dan membuang catatan-catatannya dan mulai berfokus untuk mencari kekayaan. Akan tetapi tidak bagi seorang intelektual, bagi seorang intelektual, menuntut ilmu adalah proses seumur hidup, sejak buaian hingga liang lahat, tidak akan pernah ada kata final dalam menuntut ilmu, ilmu bagaikan oksigen baginya dan ilmu tak kalah penting dibandingkan makanan baginya. Seorang intelektual tidak terjebak oleh formalisme-formalisme, baginya sekolah formal bukanlah satu-satunya tempat menuntut ilmu bahkan seringkali sekolah baginya adalah sebuah penjara yang membatasi ruang gerak intelektualnya. Bagi seorang intelektual, setiap manusia adalah gurunya, setiap fenomena adalah gurunya, alam raya adalah gurunya. Bagi seorang intelektual, bumi ini terlalu luas untuk hanya menjadi pintar sendirian, oleh karenanya ia akan menjadi pencerah bagi orang lain. Seorang intelektual sejati tidak akan mau memainkan ilmunya, menjadikan ilmunya hiasan bagi dirinya, menjadikan ilmunya menjadi medianya untuk menyalurkan hasratnya untuk dianggap orang hebat. Bagi seorang intelektual, ilmu adalah precious things, bukan sekadar objek penyalur hasrat narsistiknya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun