Mohon tunggu...
Muhammad Dhafa Alfathir
Muhammad Dhafa Alfathir Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa prodi Manajemen di Universitas Negeri Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

IPK Tinggi Bukan Jaminan : Mengapa Mahasiswa Perlu Berhenti Mengejar Angka

7 Oktober 2025   00:42 Diperbarui: 7 Oktober 2025   00:50 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sistem pendidikan tinggi Indonesia tengah menghadapi paradoks yang mengkhawatirkan. Di satu sisi, jumlah lulusan dengan predikat cumlaude terus meningkat setiap tahunnya. Di sisi lain, tingkat pengangguran terdidik justru menunjukkan tren yang memprihatinkan. Fenomena ini mengungkap sebuah krisis fundamental dalam cara mahasiswa memandang kesuksesan akademik: obsesi terhadap Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) telah mengalihkan fokus dari esensi sejati pendidikan tinggi. Pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah: Mengapa lulusan dengan IPK cemerlang justru kesulitan bersaing di dunia kerja? Jawabannya terletak pada kesenjangan antara apa yang diukur oleh IPK dengan kompetensi yang sesungguhnya dibutuhkan dalam dunia profesional.

Data dari berbagai survei ketenagakerjaan menunjukkan fakta yang tidak dapat diabaikan: perusahaan-perusahaan terkemuka tidak lagi menjadikan IPK sebagai kriteria utama dalam rekrutmen. Yang mereka cari adalah kandidat dengan kemampuan problem-solving, komunikasi efektif, kepemimpinan, adaptabilitas, dan pengalaman praktis yang relevan. Ironisnya, kompetensi-kompetensi ini justru sulit diperoleh jika mahasiswa menghabiskan seluruh energinya mengejar kesempurnaan akademik. Perburuan IPK tinggi telah menciptakan generasi mahasiswa yang terampil dalam menghafal dan mengerjakan ujian, namun gagap ketika dihadapkan pada kompleksitas masalah dunia nyata. Mereka mahir dalam teori, tetapi minim dalam aplikasi. Mereka cemerlang di atas kertas, tetapi rapuh dalam menghadapi tekanan dan dinamika lingkungan kerja yang sesungguhnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, budaya kompetitif yang tidak sehat telah mengikis nilai-nilai kolaborasi dan empati di kalangan mahasiswa. Ketika teman dipandang sebagai kompetitor dalam perebutan peringkat, kemampuan untuk bekerja dalam tim salah satu kompetensi paling esensial di era modern menjadi korban pertama dari sistem ini.

Setiap jam yang dihabiskan untuk mengejar nilai A di mata kuliah yang kurang relevan adalah waktu yang hilang untuk mengembangkan kompetensi yang sesungguhnya berharga. Ketika mahasiswa menolak kesempatan magang karena takut IPK menurun, mereka sesungguhnya kehilangan pengalaman yang nilainya jauh melebihi 0,1 poin di transkrip akademik. Ketika mereka menghindari organisasi kemahasiswaan demi fokus belajar, mereka melewatkan kesempatan emas untuk mengasah kepemimpinan, manajemen waktu, dan kemampuan bernegosiasi. Ketika mereka takut mengambil mata kuliah menantang yang bisa memperluas wawasan hanya karena khawatir mendapat nilai B, mereka telah memilih kenyamanan jangka pendek dengan mengorbankan pertumbuhan jangka panjang. Ini bukan sekadar tentang kehilangan pengalaman ini adalah tentang hilangnya kesempatan untuk menemukan potensi diri, membangun karakter, dan mengembangkan resiliensi yang akan menjadi bekal menghadapi tantangan karir di masa depan.

Sudah saatnya dunia pendidikan tinggi Indonesia melakukan redefinisi radikal tentang apa yang dimaksud dengan kesuksesan mahasiswa. IPK harus dikembalikan ke proporsi yang tepat: sebagai salah satu indikator kompetensi akademis, bukan sebagai ukuran tunggal kesuksesan. Mahasiswa perlu memahami bahwa investasi terbaik selama masa perkuliahan adalah mengembangkan portfolio komprehensif yang mencakup: prestasi akademik yang memadai, pengalaman organisasi yang substansial, keterampilan praktis yang terverifikasi, jaringan profesional yang luas, dan proyek-proyek nyata yang mendemonstrasikan kemampuan mereka. Perusahaan-perusahaan masa kini tidak mencari robot akademis yang sempurna dalam teori tetapi kaku dalam praktek. Mereka membutuhkan individu yang adaptif, kreatif, mampu berpikir kritis, dan siap belajar secara berkelanjutan. Kompetensi-kompetensi ini tidak dapat dikembangkan hanya dengan duduk di kelas dan menghafal materi untuk ujian.

Kepada para mahasiswa: Masa perkuliahan adalah investasi paling berharga dalam hidup Anda. Jangan sia-siakan dengan mengejar angka-angka yang akan kehilangan makna segera setelah Anda lulus. Berani mengambil risiko. Keluar dari zona nyaman. Coba hal-hal baru bahkan jika itu berarti IPK Anda tidak sempurna. Target IPK 3,0-3,5 dengan portofolio pengalaman yang kaya jauh lebih berharga daripada IPK 4,0 dengan CV yang kosong. Bergabunglah dengan organisasi yang menantang Anda. Ambil magang yang memberikan pembelajaran substantif. Ikuti kompetisi yang menguji kemampuan Anda. Mulai proyek yang mencerminkan passion Anda. Bangun jaringan dengan profesional di bidang yang Anda minati. Kepada institusi pendidikan: Sistem evaluasi perlu direformasi untuk menghargai pembelajaran holistik, bukan hanya kemampuan menghafal. Kerja sama dengan industri perlu diintensifkan untuk memastikan relevansi kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja. Kepada orang tua: Dukung anak Anda untuk mengeksplorasi potensi mereka secara menyeluruh. IPK tinggi tanpa kompetensi praktis hanya akan menghasilkan pengangguran terdidik yang frustrasi.

Kita berada di titik kritis di mana sistem pendidikan tinggi harus bertransformasi atau menghadapi risiko memproduksi generasi yang tidak siap menghadapi realitas dunia kerja abad ke-21. Perubahan harus dimulai dari kesadaran individual setiap mahasiswa bahwa mereka memiliki kendali atas bagaimana mereka memanfaatkan masa kuliah mereka. IPK adalah satu dimensi dari kesuksesan, bukan keseluruhan cerita. Masa depan yang cemerlang tidak dibangun dari deretan angka di transkrip, tetapi dari kombinasi pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan karakter yang dikembangkan selama masa perkuliahan. Saatnya berhenti menjadi budak sistem dan mulai menjadi arsitek masa depan Anda sendiri. Kesuksesan sejati tidak diukur dari angka di ijazah, tetapi dari dampak yang Anda ciptakan dan nilai yang Anda berikan kepada masyarakat. Pilihan ada di tangan Anda dan waktu untuk bertindak adalah sekarang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun