Di era globalisasi yang semakin cepat dan masif, budaya dari berbagai penjuru dunia saling bertemu, berbaur, bahkan kadang bertabrakan. Pergerakan informasi dan ide yang begitu cepat membuat batas-batas budaya semakin kabur.
Tradisi yang dulu dijaga ketat oleh komunitas lokal kini harus berhadapan dengan pengaruh budaya asing yang masuk melalui media, pendidikan, hingga gaya hidup sehari-hari.
Di satu sisi, ini membuka peluang untuk saling mengenal dan belajar antarbudaya, namun di sisi lain, tak sedikit tradisi yang terancam punah karena dianggap tidak relevan atau kalah menarik dibanding budaya populer global.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah tradisi yang telah diwariskan selama berabad-abad masih bisa bertahan dan berkembang di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi?
Globalisasi dan Tantangan Pelestarian Tradisi
Globalisasi memang membuat dunia seperti “desa global” yang memungkinkan berbagai budaya saling mengenal dan mengadopsi satu sama lain.
Dengan kemudahan akses informasi dan komunikasi, kita bisa menikmati berbagai bentuk seni, musik, makanan, dan kebiasaan dari belahan dunia mana pun hanya dengan beberapa klik.
Namun, proses ini juga membawa tantangan besar bagi tradisi lokal. Ketika budaya asing yang lebih “modern” dan populer mudah diterima, tak jarang tradisi asli mulai terlupakan atau dianggap kuno.
Anak-anak muda, yang menjadi generasi penerus, sering kali lebih tertarik pada budaya global yang sedang tren daripada mempelajari akar budaya mereka sendiri.
Hal ini wajar mengingat pengaruh media sosial, musik, film, dan gaya hidup internasional yang sangat kuat dan mudah diakses.