kebenaran sifatnya tidak universal. Kebenaran tidaklah mutlak. Seiring perkembangan zaman, kebenaran akan terus berubah-ubah. Bahkan, Kebenaran versimu dan versiku tentang suatu ihwal yang sama mungkin berbeda argumentasinya.Â
Kita semua tau, bahwaKebenaran ditempatku dan ditempatmu mungkin juga berbeda. Dan perbedaan itu bukanlah suatu hal yang harus diributi. Tidak mesti sebab adanya perbedaan, melahirkan permusuhan.Â
Sebenarnya hal semacam itu, hingga melahirkan sebuah konflik, tidaklah perlu. Selama Kebenaran yang kita yakini mempunyai dasar, mempunyai dalil, mempunyai teori yang logis, maka selama itu pula sah-sah saja.
Sebenarnya tak perlu sampai adanya kekerasan, persekusi, ataupun ancaman pembunuhan ketika seseorang sedang menyampaikan kebenaran versinya. Selama Kebenaran itu disampaikan kepada kelompoknya saja, biarkan. Walaupun ia menyampaikan kebenaran versinya di luar kelompoknya, selama sifatnya tidak memaksa dan seseorang yang mendengarkan itu tidak risih, mengapa harus di permasalahkan?
Sebagai manusia yang hidup di dunia, dengan banyaknya kebenaran yang ada, kita diharuskan mempunyai cara berpikir yang terbuka. Tidak akan luas kebenaran yang kita dapatkan, selama kita tidak menginklusifkan akal kita. Kadangkala kita takut untuk membuka pikiran kita terhadap suatu hal yang belum kita pelajari, sebab sedari awal kita sudah menganggap bahwa sesuatu itu adalah sesat atau tidak sejalan dengan kehendak kelompoknya.
Dahulu atau mungkin hingga sekarang ini, saya pun sama seperti itu, hanya percaya pada kebenaran yang ada di kelompok kami saja, di luar kelompok kami, artinya tak sesuai.
Padahal tak selamanya seperti itu. Apalagi, kita mempercayainya itu tanpa adanya pembuktian atau pencarian tentang hal tersebut. Akan tetapi, diktum dari Socrates telah membuka mata dan pikiran saya, "Hidup yang tak teruji tak layak untuk dijalani"
Pada beberapa tahun yang lalu, tepatnya ketika saya masih duduk di bangku SMA, saya berasumsi bahwa filsafat itu sesat. Filsafat itu membawa kita kepada kemudharatan.Â
Filsafat membawa kita kepada kegelapan jalan. Tentunya persepsi itu datang bukan karena saya telah mempelajarinya, malah sebaliknya, saya belum tau esensi dari filsafat itu seperti apa.Â
Dogma-dogma yang membuat saya seperti itu datang dari lingkungan sekitar saya, seperti keluarga. Anehnya, mereka melarang dan mencap demikian, bukan datang dari setelah mempelajarinya, tetapi dari "kata orang" juga.
Padahal dalam realitanya, esensi dari adanya filsafat itu tidak lain untuk mendayagunakan akal kita secara logis. Bukankah eksistensi dari adanya manusia itu ditentukan oleh jalan pikiran kita? Â sehingga ketika kita tidak berpikir, kita layaknya hewan.