Membaca merupakan sebuah aktivitas kebahasaan yang melibatkan mata dan pikiran. Mungkin beberapa orang juga melibatkan mulut, hati, bahkan indra peraba. Namun, yang pokok tetap dua.
Ketika mata melihat kumpulan kata, (seharusnya) pikiran menerjemahkan apa maksud dari tulisan tersebut. Namun, kebanyakan dari kita hanya menyerapnya lewat indra penglihatan tanpa dicerna oleh pikiran.
Ada sebuah laporan menarik dari UNESCO yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.
Lebih ironisnya lagi, sebuah riset pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-7 sebagai pengguna internet yang paling mudah “terhasut” oleh berita bohong. Jika dikaji, tingkatannya bisa mencapai 65%.
Menurut saya, ada dua kemungkinan yang menjadi faktor dari kemirisan tersebut.
Pertama, masyarakat kita memang jarang membaca sehingga hanya percaya pada apa yang menjadi tajuk. Kedua, masyarakat kita cukup rajin membaca, tapi bersikap dogmatis.
Apa pun penyebabnya, tragedi ini jelas mengerikan. Di era kemudahan informasi seperti sekarang ini justru menjadi sebuah labirin raksasa dari jebakan disinformasi. Dan jika kemampuan membaca kita masih rendah... duh.
Melampaui membaca
Seorang adik kelas datang dan berkata dengan antusias, “Saya telah membaca 4 buku minggu ini, tapi saya yakin, Kakak telah jauh melampaui itu.”
“Belum satu pun,” jawab saya. “Saya belum menyelesaikan satu buku pun.”
Ada perbedaan besar antara mengetahui sesuatu pada tingkat intelektual dan menginternalisasinya pada tingkat emosional. Yang satu murni teoritis, yang lainnya bersifat praktis. Yang satu mekanis, yang lainnya naluriah.
Yang satu hanya ada di kepala Anda, yang lainnya juga ada di hati Anda.