Ketika Ukraina meminta negara-negara di dunia untuk mendukungnya melawan invasi Rusia, Israel membuktikan bahwa beberapa kebiasaan adiktif tidak mungkin dihindari.
Selama dekade terakhir ini, Israel terus merayu Rusia, memupuk hubungan supaya lebih intim sambil mempertahankan aliansi strategisnya dengan 'kekasihnya', Amerika Serikat.
Namun, dalam krisis dunia saat ini, Israel menemukan dirinya terjepit di antara kepentingan dan sikap global yang kontradiktif. Israel bergejolak untuk membuat pilihan yang jelas.
Dalam upaya menghindari dua jurang, Israel telah mencoba menggambarkan dirinya sebagai perantara yang jujur antara Moskow dan Kyiev, mengklaim memiliki kepentingan khusus nan unik.
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, selama akhir pekan, telah menelpon mitranya masing-masing dari Ukraina maupun Rusia, Volodymyr Zelensky dan Vladimir Putin.Â
Lucunya, mengutip dari Yossi Melman, jurnalis Timur Tengah, yang mana menurutnya semua itu hanya sandiwara. Â Bennet tahu betul bahwa dirinya tidak perlu menjadi perantara, karena Putin tidak tertarik pada solusi untuk mengakhiri perang.
Bagi Putin, hanya penyerahan penuh Ukraina dengan segala isinya yang akan memuaskan dirinya.Â
Tidak sedikit dari para diplomat dan otoritas Israel ketakutan kalau negaranya bergabung Amerika Serikat dengan sekutunya dalam mengutuk invasi Rusia dan mengikuti untuk menjatuhkan sanksi terhadap oligarki, perusahaan, dan bank Rusia.
Kenapa? karena mereka yakin bahwa hal itu akan menimbulkan kemarahan bagi Putin di Suriah dan sekitarnya.
Sejak Rusia melakukan intervensi di Suriah pada 2015 untuk menyelamatkan pemerintah Bashar al-Assad, Moskow telah memainkan permainan ganda.