Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebiasaan Kita Menghakimi yang Kaya dan Menilai yang Miskin

12 Mei 2023   08:33 Diperbarui: 18 Mei 2023   23:38 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenapa ada istilah miskin?
Apa itu miskin dan kemiskinan dalam kacamata yang lain?
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan keterbatasan?
Lalu apa keterbatasan itu?
Kenpa kita bisa dengan mudah mengatakan Si A memiliki keterbatasan?
Jika keterbatasan adalah sebuah kekurangan, lalu dimana tolak ukurnya?

Kita kerap melihat sebuah kota melalui siaran televisi, gedung-gedung yang menjulang tinggi, jalanan yang terlihat rapih, taman-taman dengan rumput yang hijau, dan invastruktur lainnya.

Di balik semua yang terlihat meggah, lantas dengan sekonyong-konyongnya kita menilai bahwa kota tersebut memiliki banyak sumber yang dibutuhkan oleh banyak orang. Sumber yang dimaksud adalah uang, pekerjaan, dan hal penunjangn kehidupan lainnya.

Kota seperti Jakarta misalnya, Ia membawa fatamorgana bagi siapa saja yang berada di desa. Ia serupa harapan dan impian siapa saja yang tidak lagi ingin hidup miskin. Tentunya bagi siapa saja yang memiliki pikiran tersebut, pastilah dia seseorang yang membedakan antara miskin dan kaya melalui cuan.

Selama ini kita mengartikan sebuah kemiskinan adalah mereka yang kesulitan mencari sandang, pangan, pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan.

Dengan era zaman yang terus berkembang, memungkinkan setiap individu memiliki masalah kebutuhan yang terus meningkat, sementara kemiskinan dianggap oleh sebagian besar orang sebagai suatu masalah gelobal. Padahal zamanlah yang terus membuat kita terlihat semakin miskin.

Jika kita melihat suku pedalaman di Banten misalnya, suku yang terkenal dengan nama Badui ini cendrung menutup diri dengan dunia luar, dunia yang dianggapnya tidak dinikmati oleh kehidupan mereka.

Suku ini hidup bersama alam, tanpa membutuhkan sandang, dan tanpa bingung memikirkan pangan karena dari alam mereka menapatkan segalanya. Mereka tidak membutuhkan ketrampilan membaca dan menulis, tetapi mereka merupkan salah satu dari keberagaman suku di negeri ini. Bahkan keberadaan mereka menjadi sebuah daya tarik oleh orang luar untuk dijadikan bahan penelitian.

Suku yang berdiam diri di provinsi Banten pulau Jawa ini memberikan warna yang berbeda, jarak yang tidak terlalu jauh dengan kota Tangerang dan Jakarta menambahkan keunikan tersendiri untuk suku ini. Mereka tidak terletak di bagian Timur negeri ini, seperti yang selama ini kerap kita dengar bahwa kehidupan timur jauh dari barat, dan jauh dari barat artinya terbelakang.

Akan tetapi suku Badui adalah suku penyeimbang alam, suku yang berdiam diri di antara banyak suku yang merusak alam. Dari hasil penjelajahan kaum peneliti untuk mencari tahu keberadaan mereka, dan dari hasil pengamatan tentang aktivitas suku Badui banyak dari para peneliti yang menyimpulkan bahwa mereka adalah sebuah kekayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun