Deskripsi Singkat Kasus:
Melansir dari (Halo Semarang, 2025). Kasus perdagangan orang di Indonesia kembali mencuat setelah Bareskrim Polri mengungkap ratusan kasus dengan total 546 korban dengan rincian, 260 perempuan dewasa, 45 anak perempuan, 228 laki-laki dewasa, dan 23 anak laki-laki. yang berhasil diselamatkan korban umumnya berasal dari Jawa Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, NTT, NTB, dan Sumatera Utara, dengan negara tujuan seperti Malaysia, Myanmar, Thailand, Suriah, Dubai, dan Korea Selatan. korban banyak dipekerjakan di sektor informal, perkebunan, hingga menjadi operator scam online. Sementara itu Polda Sumatera Utara (Sumut) mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO), sekaligus menangkap dan menetapkan 10 orang sebagai tersangka. Dimana korban yang berhasil diselamatkan sebanyak 70 orang, terdiri atas 42 laki-laki, 26 perempuan, dan 2 anak perempuan.Â
Fenomena ini menunjukkan bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan ancaman serius, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak. Modus yang digunakan beragam: perekrutan untuk pekerjaan fiktif di luar negeri, eksploitasi seksual, kerja paksa, hingga perdagangan organ tubuh. Praktik ini tentu melanggar hukum nasional sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPP. Selain itu praktik ini merusak  nilai kemanusiaan, karena korban diperlakukan layaknya barang yang dapat diperjualbelikan.
Diagnosis Kasus:
Jika kita melihat dari  perspektif Patologi Sosial, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan bentuk penyimpangan sosial yang serius. Kasus ini mencerminkan terjadinya pelanggaran terhadap norma hukum dan moral, di mana manusia diperlakukan layaknya barang  yang dapat diperjualbelikan demi keuntungan. Meningkatnya jumlah korban setiap tahunnya adalah bukti nyata adanya proses disorganisasi sosial yang semakin menguat, ditandai juga dengan lemahnya kontrol sosial baik di tingkat keluarga, komunitas, maupun institusi negara.
Keterlibatan jaringan transnasional juga memperlihatkan bahwa Kasus TPPO bukanlah kejahatan yang umum, karena kejahatan ini sudah direncanakan secara matang dan terstruktur oleh komplotan pelaku, perencanaannya bahkan melibatkan teknologi, serta adanya dukungan jaringan internasional. Para korban biasanya mengalami pengasingan sehingga terputus dengan dunia luar yang membuat mereka sulit untuk mencari pertolongan. Tidak jarang mereka diancaam, diperas, hingga mengalami kekerasan fisik agar tetap berada di bawah kendali pelaku. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan TPPO sebagai bentuk modern dari perbudakan, yang tentunya melanggar nilai hak asasi sebagai seorang manusia.
Analisis Penyebab:
Supaya dapat memahami akar masalah yang terjadi dari kasus eksploitasi dan TPPO, disini saya menggunakan teori Disorganisasi Sosial dan Strain untuk menjelaskannya. Jika kita melihat dari sisi sebagai korban, rendahnya literasi mereka terhadap hukum serta minimnya pengetahuan tentang prosedur resmi penempatan kerja ke luar negeri membuat banyak dari mereka sangat mudah percaya pada janji palsu para perekrut. Faktor ekonomi juga sangat mempengaruhi, mengingat sebagian besar korban berasal dari keluarga dengan keterbatasan finansial. Kondisi tersebut mendorong mereka menerima tawaran tanpa pengecekan terlebih dahulu, dan mereka berharap natinya dengan bekerja diluar negeri dapat memperbaiki nasib keluarga mereka. Selain faktor ekonomi, budaya masyarakat yang masih mengukur tingkat kesuksesan dari materi juga mempengaruhi korban. Banyak orang tergoda mencari jalan pintas untuk memperoleh kekayaan tanpa mempertimbangkan resiko. Dari sisi struktural seperti lemahnya pengawasan pemerintah, kurangnya koordinasi antar lembaga, serta masih adanya celah hukum antarnegara memberikan ruang bagi para komplotan pelaku untuk terus beroperasi.
Hukum Indonesia jelas melarang TPPO, namun di negara tujuan sering kali regulasinya lemah, sehingga korban tidak memperoleh perlindungan layak. Dengan demikian, akar masalah dari kasus tersebut tidak dapat dilepaskan dari gabungan beberapa faktor individu, ekonomi, budaya, serta struktural. Semua faktor ini saling berkaitan dan menciptakan kondisi sosial yang memungkinkan terjadinya tindakan eksploitasi dan perdagangan orang terus berlangsung.
Dampak Kasus:
Jika kita lihat kasus ini memiliki dampak yang sangat luas, mulai dari tingkat individu, keluarga, maupun masyarakat. Pada tingkat individu, korban bisa saja mengalami trauma psikologis yang mendalam. Mereka dapat kehilangan rasa aman, mengalami depresi, stres, hingga gangguan kecemasan berkepanjangan. Tidak sedikit dari korban mengalami cedera fisik akibat kerja paksa maupun kekerasan fisik yang mereka dapatkan dari para pelaku kejahatan tersebut.