Kemudian, harus dipahami bahwa dalam sejarah kepresidenan di Indonesia, tidak selalu mengisyaratkan indikator keagaman sebagai prasyarat presiden yang ideal.
Di antara tujuh presiden yang pernah ada, mungkin hanya Gusdur yang dianggap santri dan bisa ngaji secara expert. Lainnya, meskipun semua beragama Islam, namun kadar kemampuan agama hanya wajar dan standar saja. Sehingga mensyaratkan (baca: memaksakan) indikator ngaji sebagai kemampuan standar capres nampaknya menjadi sesuatu yang berlebihan.
Terakhir, tulisan ini tidak bermaksud melakukan pembelaan terhadap capres tertentu, namun lebih sebagai upaya menetralisir berbagai gejala kampanye hitam yang tampaknya tidak beralasan dan terkesan lebay.
Dalam pertarungan, memang amunisi sekecil apapun bisa berpeluang membunuh lawan. Namun, pemilihan amunisi tentunya harus didasari dengan fatsun dan kaidah politik yang etis.
Selanjutnya, akan menjadi elegan bila kampanye bercorak agama mulai dihentikan, setiap orang memiliki pengalaman keagamaan tertentu, hanya Tuhanlah yang bisa menilai secara hakiki kadar keagamaan hambaNya.
Kita berharap, perang politik ini hanya momentum rutin yang tidak berdampak sistemik pada pemerintahan yang akan datang. Kampanye hitam, serang-menyerang saling cela dan fitnah yang saat ini berseliweran di media kita, semoga hanya menjadi ritual sesaat yang tidak berlanjut pasca Pilpres.
Meskipun, harus diakui bahwa kampanye hitam semakin menambah kusut dan absurd sosok Capres-Cawapres yang sebenarnya. Karena antara fakta dan fitnah, berita dan cerita, data dan kata sudah tumpang tindih dan tampak kabur untuk dipisahkan.Â