Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ora Ilok

8 Juli 2018   10:43 Diperbarui: 8 Juli 2018   10:44 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
iklanmistik.blogspot.com

Orang Jawa selalu sarat dengan adagium yang sebenarnya sulit untuk didefinisikan. Ora ilok misalnya. Sulit untuk menjelaskan secara komprehensif pengertiannya, mengingat selubung etis, dogmatis hingga mistis yang mengitarinya. Ora ilok adalah istilah yang dipakai orang Jawa -- setidaknya di lingkungan saya -- untuk memberi batasan boleh-tidak terhadap suatu perilaku. Dan sialnya, batasan tersebut seringkali diiringi dengan bala' atau kekhawatiran yang bakal terjadi. Semacam hukum sebab-akibat, namun tidak terukur secara empiris.

Jangan duduk di tengah pintu, mundak ora payu rabi. Ojo mangan brutu, marai goblok. Ojo nyunggi tangan, ngalup wong two. Kalau makan jangan disisakan, mundak bojone rebes. Nek turu ojo mujur ngalor, ora ilok. 

Dan jika frase akibat tidak mengiringi, maka cukup dengan kata "ora ilok" untuk menjustifikasinya. Waktu saya kecil, untuk melakukan preventif terhadap perilku yang dianggap negatif dan tidak ertis, maka cara yang paling ampuh adalah dengan mengirinya dengan adagium ora ilok tersebut. Dan kami pun manut-patuh, tanpa perlawanan. Karena kekritisan kita akan terbungkam dengan kalimat sakti "ora ilok" tersebut.

Saya tidak tahu, apakah mitologi ora ilok tersebut mempengaruhi perilaku saya  - dan anak-anak segenerasi lainnya -  ketika dewasa. Yang jelas dogma tersebut seakan menjadi sebuah garis demarkasi akan perilaku-perilaku yang tergolong ora ilok tersebut. Meskipun lambat lain tingkat keyakinan dan ketaatannya semakin memudar. Permasalahannya adalah, apakah ketika kami menurunkan mitologi ora ilok tersebut kepada anak-anak kita bisa seampuh dulu? Boleh jadi tidak. 

Saya belum bereksperiman tentang itu, mengingat anak-anak saya masih terlalu kecil untuk konteks ora ilok tersebut. Namun secara analitis, kecenderungan ketaatan terhadap epistemologi ora ilok bagi anak jaman now rasanya sangat tidak relevan. 

Zaman dan generasi telah berubah. Mereka lebih kritis terhadap sebuah adagium. Jika ada istilah yang dianggap "aneh" oleh mereka, mereka akan segera mendeteksinya melalui mesin pencarian. Dan tentu saja mereka akan lebih percaya terhadap google daripada peringatan aneh "ora ilok" yang tidak jelas jungtrungnya.

Benar kata Kahlil Gibran, seorang sastrawan asal Libanon, anak-anakmu bukanlah anakmu an sich, mereka adalah anak zaman. Kita tidak bisa memperlakukan sama dengan apa yang orang tua kita dulu perlakukan terhadap kita. Zaman adalah guru sejati kehidupan. Dan ini tantangan kita, bagaimana menghadirkan etika dan kearifan budaya di tengah gerusan budaya global yang sedemikian dasyat.

Ora ilok adalah produk kearifan budaya, yang akan relevan pada zamannya. Mereka diciptakan oleh sistem nilai yang pada saat itu menyangganya. Peradaban manusia pada dasarnya bersumber pada dua hal, harapan dan ketakutan. 

Adanya animisme dan dinamisnya misalnya, adalah wujud dari harapan terhadap kebahagian, dan ketakutan terhadap hal-hal yang membahayakan. Ora ilok dalam paradigma kepercayaan tersebut adalah manifestasi dari penolakan hal-hal yang tidak diinginkan, demi meraih harapan-harapan akan kebaikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun