Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Berpuasa Dengan Toleran

26 Mei 2018   05:35 Diperbarui: 26 Mei 2018   05:38 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berpuasa Dengan Toleran

Petugas Satpol PP Tasikmalaya melakukan penyisiran terhadap warung makan yang buka di siang hari pada bulan Ramadhan. Aksi razia dan himbauan penutupan warung makan pada siang hari ini sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2014 tentang ketentraman dan ketertiban umum pasal 21 huruf G tentang aturan rumah makan membuka usaha selama Ramadhan. Secara regulasi, memang ada beberapa Perda yang mengatur tentang larangan warung makan buka siang, beserta sanksinya. Tujuan Perda tersebut tidak lain adalah upaya menghormati bulan suci Ramadan dan orang yang berpuasa.

Puasa merupakan salah satu ibadah yang masuk dalam pilar rukun Islam. Artinya, puasa menjadi prasyarat sempurnanya keislaman seorang muslim. Namun kiranya ada beberapa hal yang harus ditimbang, kaitanya dengan esensi puasa itu sendiri. Pertama, puasa merupakan ibadah yang individualistik. Dalam kajian fikih, puasa merupakan ibadah yang bersifat fardhu 'ain, individual bukan kolektif (kifayah). Bahkan puasa merupakan salah satu bentuk ibadah yang rahasia. Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan, bahwa setiap ibadah itu ada takaran pahalanya, kecuali puasa. Mengapa? karena al-shaumu li wa ana ajzi bihi, puasa itu untuk Ku (Allah) dan Akulah yang akan mengganjarnya sendiri. Konsekuensinya, puasa hakekatnya adalah "kontrak" ibadah antara hamba dan Tuhannya.

Kedua, tidak semua orang diwajibkan berpuasa. Secara substansi, puasa pada dasarnya hanya disyariatkan untuk mereka yang beriman, sebagaimana bunyi teks "wahai rang-orang yang beriman". Jika seorang muslim belum merasa beriman, maka ia tidak terpanggil untuk menunaikan puasa. Ini secara hakekat. Secara syariat, ada orang-orang yang mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa. Orang yang sedang sakit, Ibu hamil dan menyusui, orang tua renta, anak-anak, musafir, bahkan beberapa ulama menambahkan para pekerja keras, boleh untuk tidak menjalankan puasa, dengan syarat dan ketentuan berlaku. Orang-orang yang seperti ini, tentunya tetap membutuhkan makan di siang hari.

Ketiga, fenomena warung makan di siang hari, kiranya sangat jauh korelasinya dengan penghormatan terhadap orang yang berpuasa. Justru tingkat keimanan berpuasa, akan teruji dengan berbagai godaan yang ada di sekitarnya. Kesucian berpuasa dan Ramadan, rasanya tidak ternodai dengan adanya warung makan siang hari. Orang memang dihimbau untuk menghormati bulan suci Ramadan, tapi tidak bisa kemudian membenarkan aksi razia terhadap warung makan, apalagi dengan cara dan etika yang di luar batas.

Simpul dari kecenderungan ini adalah sikap toleransi kita dalam berpuasa. Toleransi berpuasa merupakan sikap menghargai berbagai perbedaan dalam beragama. Setiap orang kiranya memiliki tingkat serta pemahaman keagaman yang berbeda. Ada orang yang tingkat keberagamaanya masih awam, yang mana belum bisa menjalankan puasa dengan baik. Pada tataran ini, yang dibutuhkan adalah model dakwah yang bijak (hikmah), bukan malah memusuhinya. 

Baginda Rasulullah saja berlaku bijak terhadap orang yang tidak berpuasa. Sebagaimana riwayat yang sudah sangat mafhum, pada suatu hari ada sahabat yang lapor kepada Rasulullah. Ia dan istrinya pada siang bolong melakukan hubungan suami istri, yang terang saja hal tersebut membatalkan puasa. Sesuai dengan syariah orang tersebut harus memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan fakir miskin sebanyak enam puluh orang. Semua kifarat (hukuman)  tersebut tidak disanggupi orang tersebut, maka akhirnya Rasulullah memberi kurma untuk disedekahkan. Kisah ini kiranya memberi i'tibar betapa Islam itu agama yang murah dan ramah. Bahasa yang lebih tepat, hanafiah al samhah, lentur dan lengkung.

Berpuasa tentunya tidak sekedar lapar dan dahaga, namun bagaimana sikap dan prilaku, mulut dan hati kita juga dijaga dalam segala bentuk hal yang membatalkan "pahala" berpuasa. Di sinilah kearifan dalam berpuasa dibutuhkan, sebagai upaya untuk membangun puasa yang produktif, hanya untuk Allah. Kita sama-sama tidak tahu, apakah puasa kita diterima atau tidak, berapa pahala puasa kita atau bagaimana Allah membalas puasa kita. Sehingga yang paling arif adalah mengurusi bagaimana puasa kita, tidak terlalu sibuk mengurusi puasa orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun