Mohon tunggu...
Muh Fahrurozi
Muh Fahrurozi Mohon Tunggu... Human Resources - Penikmat Kopi

Hanya manusia biasa yang ingin mati dengan damai, sebab hidup adalah proses panjang dari bagaimana cara kita mati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mahasiswa dalam Analogi Sapu Lidi

29 Januari 2019   17:39 Diperbarui: 29 Januari 2019   17:47 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerakan mahasiswa belakangan ini bisa kita katakana mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Pasalnya tiap-tiap kampus di Negeri ini mulai membatasi ruang gerak mahasiswanya, bahkan menyuarakan sedikit aspirasipun dilarang bahkan tidak di perkenankan sama sekali.

Beberapa mahasiswa di beberapa kampus memang masih ada yang sampai hari ini terus melantangkan suaranya melawan ketidakadilan dan penindasan walaupun dengan menanggung resiko akademik, hal semacam ini patut di apresiasi, lebih-lebih untuk teman-teman mahasiswa Indonesia bagian Timur yang selama ini patut kita acungi jempol ganda karena tetap konsisten dalam dunia-dunia pergerakan yang mengawal setiap ketimpangan keadilan dan kebijakan di Negeri ini.

Tapi, bukankah sesuatu hal yang sia-sia ketika penyampain aspirasi yang menggema dibawah terik matahari bercampur polusi-polusi ibu kota itu sama sekali tidak memiliki efek dan pengaruh apapun terhadap pemegang kebijakan.

Ada satu hal yang luput dari penglihatan kita, demonstrasi sekarang tidak lagi idealis. Kurang lebih seperti itu anggapan beberapa orang dan juga masyarakat. Demonstrasi yang dilakukan tidak lebih hanya sekedar pencitraan belaka dan pemenuhan tanggung jawab organisasi, buktinya tidak ada hasil nyata yang di dapatkan selepas aksi tersebut. Bahkan tidak jarang mendapat cemooh dari masyarakat sendiri yang namanya dijadikan sebagai acuan berpijak dalam gerakan aksinya.

Walaupun begitu, saya masih tetap percaya dan yakin bahwa diantara puluhan dan  ratusan orang dalam masa aksi itu, masih ada beberapa yang 'mungkin' masih idealis yang patut disebut aktivis 'sejati'.

Makna Aktivis yang sebenarlnya agung dan suci karena selalu menantang ketidakadilan dan ketidakmanusiaan, pada akhirnya di rusaki oleh segelintir orang, sehingga lahirlah paradikma yang buruk terhadap makna aktivis.

Itu sekelumit realitas yang tidak bisa kita elakkan adanya di dunia pergerakan mahasiswa saat ini. Tapi bukan itu yang menjadi sorotan utama dalam tulisan ini, melainkan menjurus kepada masa aksi yang dewasa ini terkesan patah dan tumpul. Kenapa patah dan tumpul? Gerakan aksi muncul di tiap-tiap ruas jalan ibu kota. 

Namun sangat di sayangkan, ditengah keadilan yang semakin hari tidak lagi di rasa merakyat ini, mereka malah memilih muncul dengan kelompok-kelompok kecil, membawa idealisme dan ideologi kelompok mereka masing-masing.

Maka tidaklah mengherankan, pemerintah hanya menutup mata dan menganggap sepele masa aksi. Kalau sudah begitu, jelas dimata pemerintah kita tidak lebih seperti pengemis gelandangan yang tidak berarti apa-apa, bertikai satu sama lainya seperti kucing yang berebut 'tulang ikan' (Mungkin berebut tampil di media social dengan foto berlatar masa aksi dengan kepulan asap ban bekas yang dibakar sambil memegang Megaphone, bendera dan spanduk yang bertuliskan tentang rakyat). Sehingga suara yang diteriakan dengan sedikit patah-patah itupun tambah tidak sampai menggetarkan kursi yang sedang 'petinggi' Negeri ini tempati sekarang.

Dan yang paling mengherankannya lagi. Ini betul-betul terjadi di dunia pergerakan mahasiwa. Ada kejadian masa aksi yang salah satunya berdemonstrasi di sisi kanan jalan, satu kelompok lainya lagi berdemonstrasi di sisi kiri jalan, hal yang sama terjadi dibeberapa ruas jalan lainya. Padahal soalan yang di perjuangkan itu memiliki tujuan dan ujung harapan yang sama.

Gerakan semacam itu ibarat lidi-lidi yang berceceran. Pertanyaannya mampukah satu batang lidi menyapu semua sampah katakanlah dalam suatu lapangan? Tidak bisa, ada kemungkinan ia patah di tengah jalan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun