Mohon tunggu...
Mugniar
Mugniar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mamak Blogger

Ibu dari 3 anak dan penulis freelance yang berumah maya di www.mugniar.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempertanyakan Kompetensi Anggota Parlemen Perempuan KTI

12 Oktober 2014   16:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:21 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat menghadiri sebuah acara di Hotel Quality pada tanggal 15 September lalu, saya terkesiap mendengar pengakuan dari anggota parlemen yang menjadi nara sumber saat itu. Katanya masih ada anggota parlemen perempuan (APP) yang tidak bisa dengan lugas mengemukakan pendapatnya. Dari apa yang dikatakannya, bisa disimpulkan bahwa sifat malu-malu dalam berpendapat masih ada di kalangan APP.

Hm … aneh ya. Bagaimana caranya kita bisa mempercayakan mereka membawa dan memperjuangkan aspirasi kita kalau demikian adanya? Yang lebih aneh lagi, bila disoraki oleh anggota parlemen laki-laki (APL) maka makin tak bisalah sang APP menyatakan pendapatnya. Tinggallah ia cengengesan karena salah tingkah.

[caption id="attachment_365851" align="alignright" width="287" caption="Tabel Identifikasi Kebutuhan APP dalam Upaya Pengembangan Kapasitas pada fact sheet hasil penelitian"][/caption]

Jujur saja, ini sangat aneh. Karena bagi saya yang awam ini, orang-orang yang sudah “terseleksi” hingga bisa menjadi wakil rakyat mestinya paling kurang punya kemampuan di atas rata-rata dalam mengemukakan pendapatnya, termasuk dalam memperjuangkan pendapatnya.

Tapi saya kemudian bisa memakluminya setelah membaca sebuah fact sheet berjudul Anggota Parlemen Perempuan KTI, Harapan dan Realitasyang dikeluarkan oleh BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) bersama Australian Aid.

Fact sheet itu berisi hasil penelitian APP di 4 wilayah pada 3 provinsi di Kawasan Timur Indonesia pada periode lalu. Keempat wilayah itu adalah Kabupaten Bone (Sulawesi Selatan), Provinsi Maluku, serta Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Timur (Provinsi NTB).

Yang mejadi pertimbangan pemilihan wilayah ini adalah karena APP DPRD Bone yang prosentasenya 20% berhasil memelopori lahirnya beberapa peraturan daerah dan kebijakan yang berpihak pada perempuan, prosentase APP di DPRD Provinsi Maluku sebanyak 31% tetapi belum mampu menghasilkan produk legislasi ataupun kebijakan yang pro poor dan sensitif konflik dengan gender perspektif. Sedangkan APP Kota Mataram yang hanya 8% dapat ditelusuri untuk dijadikan ukuran korelasi antara kehadiran perempuan di parlemen dan produksi kebijakan yang pro perempuan, sekaligus memetakan sebab kurangnya angka keterwakilan perempuan tersebut.

Menariknya, penelitian ini kemudian menemukan bahwa kendala yang dihadapi APP dalam memaksimalkan fungsinya di DPRD ada dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internalnya meliputi internal pada APP dan APL, juga kelembagaan DPRD. Tetapi faktor yang utama adalah terbatasnya kapasitas APP.

Lebih spesifik lagi, hasil penelitian merumuskan “jenis kapasitas diri” yang masih menjadi kendala, sebagai berikut:

APP DPRD Kabupaten Bone:


  1. Kurangnya rasa percaya diri untuk mengemukakan gagasan di depan publik.
  2. Kurang mampu mengidentifikasi dan mengemas isu.
  3. Kurang paham prosedur pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan.

APP DPRD Kota Mataram:


  1. Keterbatasan menyusun rancangan peraturan daerah dan keterbatasan pemahaman rancangan APBD.
  2. Tidak semua APP memahami perangkat-perangkat perundang-undangan yang melindungi kepentingan perempuan, termasuk pemahaman yang menyeluruh tentang kesetaraan gender.
  3. Terbatasnya kemampuan untuk melaksanakan fungsi pengawasan.
  4. Terbatasnya kemampuan “melobby” dan tawar-menawar dibandingkan dengan APL sehingga tidak cukup kuat dalam pembahasan di DPRD.

APP DPRD Kabupaten Lombok Timur:

Manajemen kasus dan kemampuan menyusun regulasi masih terbatas termasuk mengidentifikasi dan mengemas isu

APP DPRD Provinsi Maluku


  1. Kurangnya kepercayaan diri untuk mengemukakan argumentasi di depan publik.
  2. Kemampuan yang terbatas untuk mengidentifikasi dan mengemas isu gender.
  3. Kemampuan bernegosiasi dan melaksanakan jejaring masih terbatas.
  4. Kemampuan yang terbatas dalam menyusun rancangan peraturan daerah dan membaca anggaran dengan cepat.

1413082512499287747
1413082512499287747

Salah satu kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah bahwa efektivitas pelaksanaan fungsi DPRD (legislasi, pengawasan, dan penganggaran) tidak ditentukan oleh banyaknya jumlah APP. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya perempuan dan penduduk miskin sangat tergantung pada kapasitas dan kapabilitas APP dan bukan banyaknya jumlah APP.

Dengan jumlah APP yang hanya 4 dari total anggota parlemen 46 orang di DPRD Lombok Timur, mereka mampu memengaruhi eksekutif dalam menghasilkan anggaran untuk penyediaan tabung oksigen. Di Kota Mataram, APP mampu menghasilkan 4 perda terkait dengan peningkatan kesejahteraan perempuan dan penduduk miskin. Sebaliknya di Kabupaten Bone yang jumlah APP-nya lebih banyak, kinerja dan hasilnya masih relatif kurang dibanding dengan kabupaten lain yang memilik APP lebih sedikit.

Penelitian ini merekomendasikan bahwa APP masih memerlukan pelatihan tentang perencanaan dan penganggaran (termasuk yang terkait isu gender), mengidentifikasi dan mengemas isu (termasuk isu gender), merancang peraturan daerah, memahami perencanaan dan anggaran yang pro poor, dan pelatihan public speaking.

Penelitian ini tentu saja tidak menggambarkan keadaan keseluruhan APP kita. Tapi megingat hal yang saya ceritakan di awal tulisan, bisa jadi jenis keterbatasan kapasitas yang ada pada APP dalam penelitian ini, juga terdapat di daerah lain. Dan ini juga bukan berarti bahwa semua APL lantas berarti sama sekali tidak memiliki keterbatasan kapasitas sama sekali.

Yang patut dicermati adalah bahwa peningkatan kapasitas diri adalah masalah yang serius karena menyangkut kompetensi dalam mengemban tugas sebagai wakil rakyat yang membawa suara dari ribuan konstituennya. Ini juga menyangkut kepercayaan masyarakat kepada mereka. Mudah-mudahan saja ada peningkatan kesadaran pada para APP dan APL yang baru terpilih dalam periode ini untuk meningkatkan kapasitas dirinya semaksimal mungkin.

Makassar, 12 Oktober 2014

Keterangan:


  • APP: anggota parlemen perempuan
  • APL: anggota parlemen laki-laki
  • Sumber: fact sheet, hasil penelitian yang diterbitkan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia bersama Australian Aid) berjudul Anggota Parlemen Perempuan KTI, Harapan dan Realitas.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun