Mohon tunggu...
Mudhofir Abdullah
Mudhofir Abdullah Mohon Tunggu... profesional -

Mudhofir Abdullah adalah Dosen Filsafat Hukum Islam IAIN Surakarta. Tinggal Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lukman Hakim Saifuddin dan Kiprah Kebangsaan

13 Maret 2018   16:02 Diperbarui: 13 Maret 2018   18:49 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Mudhofir Abdullah

Izinkan saya melukis sosok Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin. Melukis dalam arti mendeskripsikan dan menafsirkan beliau dalam suatu tulisan. Lukisan saya ini berdasarkan apa yang saya lihat, saya dengar, dan saya baca. Karena itu, lukisan saya ini bisa disebut suatu testimoni tentang sepak terjangnya sejak beliau menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia.

Sejak dua tahun yang lalu, saya sering hadir dalam acara-acara beliau. Pidato-pidatonya memukau. Bukan saja dalam gaya, mimik, dan intonasi, tetapi juga dalam isi. Terkadang pakai teks, tetapi lebih banyak disampaikan tanpa teks. Saya memerhatikan nuktah demi nuktah dan selalu memantik rangsangan gagasan baru dan kesadaran baru. Jika gagasan yang disampaikan tidak baru, tapi memunculkan kesadaran baru. Ada ketulusan dalam pesan yang disampaikan.

Sebagai putra KH Saifuddin Zuhri, tokoh NU dan Menteri Agama era Soekarno tahun 1962-1967, LHS punya warisan pendidikan yang kaya. Ayahnya adalah tokoh yang kaya akan pengalaman baik masa sebelum kemerdekaan hingga masa-masa awal Orde Baru. 

Saifuddin Zuhri  ikut bergerilya melawan penjajah di Ambarawa di bawah Soedirman. Di bidang ini, ayah LHS memperoleh Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno. Di Bidang pendidikan, KH Saifuddin Zuhri memperoleh gelar Profesor Honoris Causa bidang Dakwah dari IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN SUKA Yogyakarta) pada usia sangat muda 45 tahun. 

Karya-karya Saefuddin Zuhri juga menghiasi diskusi public tentang Islam, politik, pesantren, dakwah, dan kebangsaan. Dari reputasi orang tua LHS yang demikian, LHS memperoleh pendidikan yang memadai. LHS memperoleh pendidikan informal dari ayah dan lingkungannya yang sangat kaya untuk mengantarkannya ke panggung politik Indonesia.

Mengulas latar keluarga sang tokoh  itu penting untuk masuk lebih dalam. Hal ini demikian karena lingkungan keluarga adalah pewaris DNA kepada anak-anaknya. DNA adalah sifat bawaan yang ditransformasikan kepada anak-anak turunannya oleh para orang tua. DNA tak pernah lekang oleh waktu. Dalam film Juraisic Park, sperma binatang raksasa Dinosaurus yang menempel di bebatuan jutaan tahun yang lalu masih bisa menghasilkan turunan. Inilah DNA yang dalam biologi menjadi inti dari suatu makhluk hidup.

Nah, Lukman Hakim Saifuddin menjadi tokoh bukan saja ditentukan semata-mata karena faktor keberuntungan. Tetapi, menurut saya, karena faktor DNA yang mengendalikan pertumbuhan fikiran, ketrampilan, kecerdasan, kemauan, dan sifat-sifat bawaan lain yang memungkinkan beliau dapat mengulang keberhasilan ayahnya. Bukan faktor kebetulan, jika LHS menjadi Menteri Agama, menjadi politisi, cakap berpidato, sangat toleran, membela keadilan, mencintai bangsanya, dan lain-lain. Ini semua tidak berbeda jauh dengan DNA ayah dan keluarganya. Yang berbeda adalah lingkungan saat-saat LHS menghadapi situasi yang berbeda sekarang. Situasi politik, tren-tren yang terjadi, dinamika dunia yang terus berubah, dan interaksi sosial yang berbeda, menghasilkan respons-respons berbeda yang diberikan LHS. Dunia sekarang membentuk dan memperkaya filosofi, kecakapan, kepribadian, dan sifat-sifat DNA yang dahulu.

Isu-isu sekarang yang ikut memperkaya pandangan dunia (word view) LHS adalah isu tentang Islam moderat, Islam dan globalisasi, Islam dan tantangan high politics, seruan moral tentang menghormati minoritas (minoritas agama, minoritas penyandang penyakit LGBT, minoritas pengguna cadar, minoritas Budhis, China, dan lain-lain). LHS berangkat dari nilai-nilai rahmatan lil alamin dalam menandang suatu persoalan. 

Dia lebih peduli pada kemaslahatan yang lebih tinggi ketimbang melihat kepentingan-kepentingan instan dan jangka pendek. Tak heran jika, LHS dipuji tetapi juga dibenci. Pujian dan cacian seringkali sulit dibedakan. Ketika seseorang dicintai, pada saat sama, dibenci---oleh pihak atau komunitas yang berbeda. Namun demikian, LHS tak ambil peduli dengan semua bullying, kebencian, termasuk pujian. Saya beberapa kali membaca beberapa berita terkait LHS dan kebijakannya. Secara substansial tidak begitu masalah, tapi bagi kalangan yang kontra sering dipahami sebaliknya.

 Soal statemen-statemen LHS tentang LGBT, misalnya, dipahami seolah-olah dia membela para pelaku LGBT. Padahal yang LHS inginkan adalah bagaimana menyembuhkan penyakitnya, sehingga hak-hak pelaku LGBT tetap ada. Soal Islam moderat, keberpihakannya pada Syi'ah Baha'I, dan minoritas-minoritas lainnya juga dipandang kontroversial. Semua itu, kini telah menjadi ciri khas LHS yang telah diingat masyarakat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun