Mohon tunggu...
Muchson Thohier
Muchson Thohier Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa

Rindu Harmoni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tiga Kiat Menuju Keluarga Samara

11 Juli 2013   16:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:41 3102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ketika sepasang pengantin sepakat mengikrarkan janji, menyatu dalam sebuah ikatan yang bernama pernikahan yang ada dalam benak mereka tak lain adalah mewujudkan impian tentang keluarga yang bahagia, sejahtera, lahir dan batin. Dalam bahasa agama keluarga idaman semacam itu sering disebut dengan istilah keluarga SAMARA (Sakinah, Mawaddah wa Rahmah.)

Begitupun saat mereka menetapkan hati memilih pasangan hidup, dalam lubuk hati yang paling dalam tentu menginginkan kebersamaan yang panjang atau bahkan sebisa mungkin abadi. Aneh rasanya kalau ada sesseorang sedari awal menikah sudah diniatkan untuk sementara waktu saja. Kisah-kisah tentang keabadian cinta, kesetiaan dan indahnya membangun kebersamaan telah banyak mengisi lembar-lembar sejarah peradaban manusia dan tampaknya hal itu merupakan salah satu sumber inspirasi bagi banyak manusia saat menjalani kehidupan rumah-tangganya. Misalnya kisah tentang Adam-Hawwa, Yusuf-Zulaikha, Musa-Shafura, Muhammad SAW – Khadijah, ataupun Ali ibn Thalib dan Fatimah az Zahra.

Persoalannya tidak semua yang memiliki impian indah tentang keluarga bahagia, harmonis, sakinah, mawaddah wa rahmah bisa mewujudkannya dalam kenyataan. Ada banyak hal yang bisa menyebabkan terjadinya kesenjangan antara impian dan kenyataan. Pernikahan bukanlah sebuah kondisi yang monolitik. Pernikahan merupakan sebuah kondisi yang dinamis dan penuh warna. Sedinamis dan seberagam warna hidup dan kehidupan itu sendiri. Maka bagi siapa saja yang tidak memiliki kesiapan yang cukup dalam memasuki jenjang pernikahan, tidak heran bila dia gagal mewujudkan impian-impiannya.

Tiga Kiat Sederhana

Nah, demi mewujudkan keluarga SAMARA ada tiga hal sederhana yang bisa dilakukan oleh seorang suami maupun istri. Sederhana, mudah, semua bisa melakukan dan bahkan bisa tanpa biaya sedikitpun. Sayangnya banyak yang menganggap hal-hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak penting. Maklumlah selama ini orang lebih melihat sesuatu sebagai “penting” atau tidak dihubungkan dengan kontribusinya secara finansial, fisik dan material.

Tiga hiasan yang akan memperindah rumah-tangga tersebut sangat baik dilakukan oleh siapapun. Bagi pengantin baru maupun yang tidak baru penulis sarankan untuk mencoba. Syukur tidak hanya mencoba namun menjadikannya sebagai kebiasaan.  pertama, kebiasaan mengucapkan terima kasih kepada pasangan. Ucapan terima kasih sesungguhnya bentuk apresiasi. Tentu siapapun akan senang bila apa yang dilakukan mendapat apresiasi dari orang lain. Apalagi bila yang mengapresiasi adalah pasangan hidup sendiri, belahan jiwa sendiri, orang yang paling kita cintai. Sangat banyak dari mulai hal yang remeh, sederhana hingga hal-hal besar yang dilakukan oleh pasangan hidup kita, suami atau istri kita, yang layak mendapat apresiasi dari kita.

Saat seseorang telah menetapkan hati menjadi istri kita – misalnya, pilihan tersebut bukan tanpa resiko dan perjuangan. Dan segala perjuangannya sangat layak untuk mendapat ucapan terima kasih. Jangan anggap untuk menjalani kehidupan sebagai istri tanpa godaan, hambatan dan kesulitan-kesulitan. Lalu mengapa tidak banyak suami yang bermurah hati memberi ucapan terima kasih kepada istrinya. Dan mengapa tidak sedikit para suami itu menganggap apa yang dilakukan oleh istrinya adalah hal lumrah, sudah kewajibannya dan karena itu tak pantas mendapat apresiasi? Inilah masalahnya, para suami di negeri kita ini banyak yang tidak ingin melihat istrinya senang dan bahagia. Bahkan saat terbuka kesempatan menyenangkan pasangan dengan murah dan mudah saja tidak mereka lakukan. Kalau yang gratis saja nggak mau, apalagi yang pakai bayar?Maka wahai para suami mulai saat ini ucapkan terima kasih pada istrimu sesering mungkin, kalau perlu setiap hari. Yakinlah itu akan membantunya bahagia.

Ketika istri dengan tangannya sendiri meyeduh kopi di pagi hari untuk disuguhkan pada suami tercinta, mengambilkan ponsel suami yang tertinggal di meja kamar, atau hal-hal lain yang dianggap kecil dan kurang bermakna sesungguhnya dia telah berjuang dan berusaha menjadi istri terbaik untuk suaminya. Tiada perjuangan besar tanpa diawali perjuangan kecil. Dan tiada perjuangan besar yang berhasil tanpa diawali keberhasilan perjuangan-perjuangan yang dianggap kecil itu. Dan karena hidup adalah perguliran dari hal-hal yang remeh, kecil, sepele, besar, hebat, megah, maka tidaklah lengkap kehidupan dan perjuangan seseorang bila tidak mengikuti alur perguliran hidup itu sendiri. Maka katakan terima kasih pada istri anda atas apapun yang telah dilakukannya. Bahkan kalau anda mampu terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan anda sekalipun! Dan bila kebetulan anda adalah seorang istri, lakukan hal-hal  yang sama pada suami anda.

Kedua, kebiasaan saling meminta maaf antar anggota keluarga. Manusia tak ada yang sempurna. Begitupun seorang suami, istri dan anggota keluarga lain – anak-anak. Suami pernah salah, istri juga. Tak ada interaksi antar manusia seintensif interaksi dalam keluarga. Dan sangat terbuka kemungkinan seorang suami melakukan khilaf setiap hari entah disadari atau tidak. Begitupun seorang istri. Maka tak perlu menunggu “lebaran” atau setelah bertengkar untuk saling mengikhlaskan kesalahan. Sangat baik bila suami-istri membiasakan diri saling meminta maaf setiap hari. Termasuk misalnya kepada anak-anak.

Maka nggak usah pelit dengan kata maaf. Hanya orang sombong yang berat mengulurkan tangan dan mengakui dirinya khilaf. Ini artinya orang yang ringan meminta maaf adalah orang yang bersih hatinya. Dan kebersihan hati ini menjadi salah satu ciri orang yang mulia. Kalau misalnya anda merasa kurang menikmati harus menyusun kata-kata permintaan maaf setiap hari, menganggapnya sebagai klise dan rutin, ada cara meminta maaf yang bisa dilakukan tanpa berkata-kata. Dengan apakah itu? Bersalaman. Bersalaman sebelum pergi, bersalaman saat baru saja datang, bersalaman setelah shalat berjamaah adalah momen  indah yang mendekatkan hati, menghangatkan suasana keluarga dan menguatkan cinta-kasih sayang. Apalagi bila saat bersalaman, si istri sembari mencium tangan suami dan si suami mencium kening istri. Asyiiik deh!

Ketiga, seyogyanya bahkan seharusnya pasangan suami-istri membuat kesepakatan saat sebelum menikah tentang pentingnya evaluasi keluarga. Hal yang penting dilakukan oleh pasangan suami istri termasuk segenap keluarga adalah menetapkan waktu tertentu yang telah disepakati, entah sebulan sekali, tiga bulan sekali atau entah kapan pun, setiap anggota keluarga merasa perlu meminta pendapat dan penilaian anggota keluarga yang lain. Seorang suami misalnya bisa mengatakan: “Istriku, menurutmu aku ini sudah menjadi suami yang baik atau belum? Tolonglah jawab dengan jujur. Aku sebagai suami sangat siap menerima masukan demi lebih baiknya rumah tangga kita. Aku ingin menjadi suami yang terbaik untuk kamu”

Ucapan yang sama juga bisa dilakukan pada anak-anak – bila sudah memiliki anak. “Anakku, sebagai ayah sudahkah aku menjadi ayah yang baik menurutmu? Apa kekurangan ayah? Tolong beri ayah masukan sayang! Ayah ingin menjadi ayah terbaik untuk kamu.” Bila seorang suami telah melakukan hal demikian, juga sebagai seorang ayah kepada anak-anaknya, maka tibalah saatnya seorang istri melakukan hal yang sama kepada suaminya. “Mas, sudahkan aku menjadi istri yang baik menurutmu? Tolong bimbing dan tuntun aku Mas, untuk lebih mengenal kekurangan dan kelemahanku. Betapa inginnya aku menjadi istri terbaik untuk jenengan”.  Kepada anak-anak bisa dikatakan: anakku beri ibu masukan sayang, agar ibu bisa menjadi ibu yang terbaik untuk kalian!

Bila kebiasaan ini telah menjadi hiasan dalam rumah tangga yakinlah anak-anak akan meniru apa yang dilakukan orang tuanya. Suatu saat dia akan mengatakan pada ayah-ibunya: Ayah! Ibu! Sebagai anakmu apakah aku sudah menjadi anak yang baik menurutmu? Bimbing dan tuntun aku wahai ayah ibu. Betapa inginnya aku menjadi anak-anak terbaikmu. Yang bisa memberimu kebanggaan. Bisa memberimu kebahagiaan dan kemuliaan.

Dan masihkah anda tidak percaya bila tiga kebiasaan sederhana di atas yang super murah dan mudah itu akan menuntun biduk rumah tangga menuju sebuah dermaga indah nan idaman, menuju pelabuhan harapan dan pulau impian yang bernama sakinah mawaddah wa rahmah? Kalau masih ragu silahkan coba dan buktikan. Lalu perhatikan apa yang terjadi!!!!

Wallahu a’lam bi al shawab

REMBANG, 11  Juli  2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun