Mohon tunggu...
M Muti Udin
M Muti Udin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Newbie

Hanyalah manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Istilah Masyarakat Madani dan Civil Society, Bagaimana Itu?

4 November 2021   23:28 Diperbarui: 4 November 2021   23:39 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Masyarakat madani adalah masyarakat berbudaya yang mampu berinteraksi dengan perkembangan dunia modern sehingga terus tumbuh dan berkembang. Dalam masyarakat madani, setiap individu telah mengakui dan memahami hak dan kewajibannya terhadap bangsa, negara, dan agama. Masyarakat sipil digambarkan sebagai masyarakat yang bermoral, menghormati hak asasi manusia dan menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas sosial. 

Masyarakat madani adalah masyarakat ideal yang didalamnya terdapat individu-individu yang diakui sebagai warga negara yang setara dalam pembagian hak dan kewajiban. Hakikatnya masyarakat madani adalah masyarakat dengan kehidupan yang ideal, baik dari segi hak dan kewajiban warga negara, yang dapat dilaksanakan secara seimbang dan dapat tumbuh seiring dengan perubahan dunia yang semakin canggih.

Masyarakat madani juga sering disamakan dengan istilah masyarakat sipil atau civil society. Istilah civil society berasal dari sejarah bangsa barat, penggunaan istilah ini pertama kali digunakan oleh Cicero dengan kata societes civilis dalam filsafat politiknya. Istilah masyarakat sipil pertama kali digunakan oleh Adam Ferguson, seorang filsuf Skotlandia pada abad ke-18. Ferguson dalam bukunya menggambarkan masyarakat yang terdiri dari beberapa lembaga otonom yang mampu menyeimbangkan kekuasaan negara.

 Ide civil society berasal dari filsafat Pencerahan dengan tokoh Locke dan Rousseau, melalui pemikiran Pencerahan ini mereka mencoba menciptakan landasan filosofis untuk aktualisasi mereka terhadap sistem politik yang berdaulat individu, persamaan dan persaudaraan manusia. Dan sekarang lebih familiar dengan istilah masyarakat madani dibandingkan dengan civil society.

Di beberapa negara berkembang, sikap Hegelian terhadap negara lebih mendominasi. Di satu sisi mereka melihat negara sebagai tempat di mana segala sesuatunya ideal, di sisi lain mereka kurang percaya diri pada masyarakat sipil. Kecenderungan ini tercermin dalam pengalaman Indonesia yang terinspirasi dari sejarah kolonialnya. 

Di era kolonial, terutama sebelum Perang Dunia II, kaum intelektual memainkan peran penting baik dalam pendidikan sosial maupun dalam upaya untuk menggulingkan negara kolonial. Di era kolonial, proses pembentukan masyarakat sipil sangat lambat. Namun jika melihat masyarakat sipil dari perspektif Lockean, Rousseauian dan Smithian, yaitu sebagai masyarakat ekonomi dan sekaligus sebagai masyarakat politik, masyarakat sipil yang berwatak politik berkembang lebih cepat.

Pada masa penjajahan Hindia Belanda, berbagai jenis perkumpulan relawan dikembangkan, baik yang bersifat budaya, politik, ekonomi, maupun keagamaan. Secara umum, pembentukan organisasi-organisasi ini dipimpin oleh para intelektual bersama para ulama di nusantara saat itu, yang juga dapat digambarkan sebagai intelektual tradisional yang memainkan peran sentral dan berkontribusi pada pembentukan negara. 

Padahal, mereka memiliki pandangan yang berbeda tentang tempat dan peran agama dalam negara. Di satu sisi ada pendapat yang menganjurkan pemisahan agama dan negara, di sisi lain mengingat kuatnya unsur agama di masyarakat, terutama kaum mayoritas yaitu umat Islam, khususnya kelompok Islam terhadap sekularisme.

Dalam negara integralis seseorang dapat dengan bebas memperjuangkan nilai-nilai agama. Tetapi wujud hasilnya adalah sebuah hukum nasional. Hanya dalam bidang-bidang tertentu, misalnya dalam hukum keluarga, Islam membolehkan penegakan otonom di antara para pemeluknya. Tetapi hukum Islam juga muncul sebagai bagian dari hukum nasional. 

Akibatnya, ada kecenderungan untuk mendominasi negara atau memperebutkan nilai-nilai suatu kelompok agama. Misalnya, umat Islam memperjuangkan hukum yang melarang riba sebagai bagian dari hukum perbankan atau hukum halal dan haram dalam hukum makanan. 

Kuatnya peran agama, seperti di Indonesia, sangat mendukung cita-cita negara yang idealis. Negara di sini dipandang sebagai tempat dan sekaligus pengejawantahan nilai-nilai luhur yang berakar pada agama. Itu menjelaskan mengapa demokrasi di Indonesia menyandang gelar pancasila. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun