Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Ayo Menjadi Penulis Anarkis tapi Logis, Etis dan Estetis

16 April 2015   11:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:02 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

(#03 Trilogi Anarkisme Penulisan)Dalam dua artikel terdahulu, saya sudah sampaikan apa itu anarkisme dalam penulisan artikel berikut asal-usul gagasan itu.Juga sudah sampaikan alasan untuk menempuh jalan anarkis, yaitu demi sebuah karakter yang saya sebut signaturetulisan/artikel.Sekada menyegarkan ingatan tentang hal-hal tersebut, boleh baca lagi kedua artikel tersebut (jangan-ajari-aku-cara-menulis-artikel dan dari-anarkisme-lahirlah-signature-artikel ).

Tadinya saya bermaksud berhenti pada artikel pertama.Tapi kemudian, karena ada kebutuhan menjelaskan substansi filsafat pada artikel itu, lalu muncul artikel kedua.Lalu, saya pikir masih ada yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu tentang anarkisme penulisan artikel yang tetap harus dituntun oleh logika, etika, dan estetika.Maka jadilah “trilogi anarkisme penulisan” ini.

Penjelasan ini diperulukan untuk menghindari anggapan bahwa anarkisme penulisan itu lepas bebas tanpa rambu-rambu apapun.Tidak, ia tetap harus dituntun oleh logika, etika, dan estetika yang merupakan “nilai bawaan” dalam diri setiap orang.Saya akan jelaskan secara singkat di bawah ini.

Trimatra Akal-budi:Logika-Etika-Estetika

Setiap orang mendapat karunia akal budi, sebagai nilai bawaan lahir.Akal budi mengandung tiga matra (trimatra), yaitu logika, etika, dan estetika.Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa kita tak memiliki nilai-nilai logika, etika, dan estetika dalam diri kita.Sepanjang otak kita masih terdiri dari dua belahan, yaitu kiri (fungsi logika, analisa/bahasa/angka) dan kanan (fungsi etika/estetika, ekspresi/kreasi), maka kita punya trimatra akal budi itu.

Kalau otak kanan dan kiri normal, maka setiap orang pasti bisa mengungkapkan pikirannya secara lisan maupun tulisan tanpa melenceng dari kaidah-kaidah logika, etika, dan estetika.

Pertanyaannya mengapa ada tulisan (paragraf/kalimat) yang dinilai sesat pikir?Ada dua kemungkinan penyebabnya:karena “kemalasan berpikir”, atau karena “motivasi non-etis”, atau karena keduanya.Karena malas berpikir, maka tulisan menjadi tak masuk akal atau ngawur.Karena motivasi non-etis, maka tulisan menjadi “beritikad buruk/jahat” atau menghina, memojokkan, dan menghujat individu atau kelompok lain.Karena tulisan tak masuk akal dan beritikad buruk, maka dengan sendirinya “jelek” (minus nilai estetika).

Itu sebabnya perlu ditekankan, “Anarkisme penulisan harus patuh pada prinsip-prinsip logika, etika, dan estetika”.Tanpa trimatra akal budi ini, tidak akan muncul karakter unik (dalam arti positif) atau signature tulisan.

Tanpa trimatra akal budi itu pula, kita tidak akan menyumbangkan teks bernilai positif, melainkan “teks teror”.Dengan kata lain, bukannya menjadi penulis yang mempunya signature, tapi menjadi seorang “teroris tekstual”.

Mungkin ada yang mengeluh seperti saya,”Tapi logika, etika, dan estetikaku memble”.Benarkah? Atau sebenarnya kita cuma malas mengembangkan talenta akal budi yang dikaruniakan Yang Maha Kuasa kepada kita?Logika pada artikel Nararya sangat kuat, sebaliknya pada artikel saya sangat lemah. Itu bukan karena Nararya memperoleh karunia logika kuat, tapi karena saya malas mengembangkan talenta logika saya.

Jadilah Diri Sendiri

Guru SMA saya dulu memarahi seorang teman yang agak nakal: “Orang lain mengerjakan PR, mengapa kamu tidak?”Jawab sang teman tanpa rasa dosa: “Saya bukan orang lain, Pak. Saya diri saya sendiri!”

Jawaban sang teman itu benar belaka.Bahwa dia kemudian menerima dua jitakan guru di kepalanya, itu semata-mata karena salah konteks.Tapi moralnya sungguh bagus: jadilah “diri sendiri”, bukan jadi (seperti) “orang lain”.

Begitu pula di dunia tulis-menulis, termasuk di Kompasiana.Jadilah “diri sendiri”, dengan memproduksi teks artikel yang “berkarakter unik”, memiliki signature sendiri yang membedakan dengan penulis lain.

“Karakter unik” atau signature itu hanya mungkin dicapai melalui jalan anarkisme dalam penulisan.Itulah jalan “apa saja boleh”, sejauh tetap berpegang padi logika, etika, dan estetika.Jangan pernah bermimpi mendapatkan signature dengan cara mengandalkan buku petunjuk menulis, atau meniru cara orang lain menulis.

Dengan cara terakhir ini, seseorang hanya akan menjadi penulis pembebek (pengekor, epigon), yang tak akan memberi kontribusi apapun, kecuali menambah kejenuhan.Betapa mengerikan, misalnya, jika Kompasiana dipenuhi oleh penulis-penulis berkarakter sama yang memproduksi teks-teks sejenis setiap saat.

Jadi, sebagai misal, jangan lagi ingin menjadi “Nararya” baru, karena seorang Nararya di Kompasiana sudah terlalu banyak untuk menerorkita dengan kanon-kanon anti-sesat pikirnya.

Jangan pula ingin menjadi “Ifani” baru, karena seorang Ifani di Kompasiana sudah lebih dari cukup untuk menggosongkan telinga kita dengan radangan a’la emak-emaknya.

Juga jangan ingin lagi menjadi “Jati” baru, karena tambahan seorang lagi Kompasianer jenis itu sudah lebih dari cukup untuk mengubah huruf “h” pada kata “habul” menjadi huruf “c”.

Jangan ingin lagi menjadi …, sebut siapa saja nama Kompasianer, karena dengan begitu Anda tak punya “identitas”.

Karena itu, ayo, "galang rambu anarki ..."(Iwan Fals), lalu jadilah diri sendiri dan temukan signaturemu. (*)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun