Seorang pekerja sedang mengoperasikan ATM di sebuah pabrik tenun di Balige, Toba-Samosir (sumber: www.ayogitabisa.com)
(Humor Revolusi Mental #096)
Ada tiga pola perkembangan sebuah perusahaan. Konglomerasi alias meraksasa, stagnasi alias begitu-begitu saja, atau atomisasi alias menciut jadi kecil.
Nah, pola terakhir ini terjadi pada pabrik-pabrik tenun di Balige, Sumatera Utara. Asal tahu saja, tahun 1970-an adalah masa kejayaan pabrik tenun berbasis Alat Tenun Mesin (ATM) di sana. Sedemikian jayanya, sehingga kota Balige waktu itu dijuluki “Majalaya Kedua”. Majalaya, Priangan waktu itu adalah pusat industri tenun berbasis ATM terbesar di nusantara.
Pabrik tenun di Balige itu memproduksi “tekstil rakyat”. Produk legendarisnya adalah “Sarung Balige”. Ini sarung berbahan katun yang sangat cocok dikenakan untuk menahan tusukan dingin di Dataran Tinggi Toba.
Memasuki tahun 1980-an, lanjut ke tahun 1990-an, masa kejayaan industri tenun Balige pupus sudah. Bukan saja jumlah perusahaan berkurang drastis, tapi skala usahanya juga menciut, dari skala besar/menengah menjadi skala mikro/rumahtangga. Proses ini disebut sebagai gejala atomisasi.
Yang menarik dari gejala atomisasi itu adalah alasan terjadinya. Kasus usaha pabrik tenun Ompu Sopar, tulang atau paman Si Poltak, bisa menjelaskan mengapa dan bagaimana proses atomisasi itu terjadi.
“Dulu jumlah ATM di pabrik tenun milik Tulang ini katanya banyak, ya?” Poltak minta konfirmasi kepada Ompu Sopar, pada suatu hari tahun 2005, saat berkunjung ke rumah pamannya itu.
“Betul. Sampai awal delapan puluhan masih ada seratus unit ATM. Sekarang tinggal sepuluh,” jawab Ompu Sopar.
“Wah, kok bisa merosot tajam gitu, Tulang?” tanya Poltak terheran-heran. Lanjutnya, “Kenapa Tulang jadi tumpur begini?”