Di pedesaan Jawa Barat musim panen padi sekuensial dengan musim kawin manusia. Setelah panen padi usai, pesta kawin menyusul.Â
Bukan koinsidensi, tapi ada hubungan kausatif. Panenan menghasilkan uang. Uang digunakan untuk modal pesta kawin anak. Atau pesta kawin bapak yang kesekian kali.
Begitulah, musim panen bermakna harapan untuk kawin. Terutama untuk para jomlowan dan jomlowati.
Menutup periode jomlo. Kira-kira begitu istilah kerennya.
Tersebutlah seorang kompasianer jomlo pujaan para nenek lansia. Guido namanya. Kamu pasti kenal dia, perjaka sohor se-Manggarai Raya, Flores itu.Â
Guido itu tenar sebagai petani cengkeh di Pacar, Manggarai. Itu kegiatan utamanya. Sampingannya berburu kakartana, hantu betina pengisap keperjakaan jomlo sesat. Sayangnya, Guido bukan jomlo sesat.
Bicara tentang tiga periode, Gui petani cengkeh itu tak mau kalah isu dengan Presiden RI. Boleh dikata, Gui malahan unggul dengan isu tiga periode jomlo.
Isu presiden tiga periode baru berupa wacana tapi sudah didemo mahasiswa dalam dua jilid. Tiga periode jomlo untuk Gui bukan wacana lagi, tapi sudah fakta, realita.
Begini kisah sedihnya, sodara-sodara. Harusnya Gui sudah menutup periode jomlo tahun 2020. Sialnya, saat panen raya cengkeh di Manggarai tahun itu, harga cengkeh justru anjlok. Akibatnya pendapatan kebun cengkeh defisit. Biaya kawin, belis dan pesta, tak tercukupi. Pesta kawin Gui terpaksa ditunda.
Akibatnya, Gui harus melenggang sendiri memasuki periode kedua kejombloannya. Setidaknya sepanjang tahun 2021. Dengan harapan panen cengkeh 2022 akan membaik, sehingga kebutuhan biaya kawin tercukupi.