Cerita mansai, tangkap ikan ramai-ramai di sungai, yang dibawa Romo Gregorius Nyaming dari komunitas Dayak Desa di pedalaman Kalimantan, mengingatkan saya pada paparan G. Hardin tentang "tragedi kepemilikan bersama" (tragedy of the common).
Merujuk Hardin, hutan secara keseluruhan -- tanah dan mineral, badan air, flora, fauna, dan udara -- adalah sumber alam milik bersama (common property). Karena itu, idealnya, sumber alam hutan itu harus dimanfaatkan dan dilestarikan secara bersama. Asas keadilan dan pemerataan tentu berlaku di situ, Â seturut norma sosial yang disepakati.
Tragedi, kata Hardin, terjadi apabila setiap individu mengambil manfaat secara sendiri-sendiri dari sumber alam milik bersama, tanpa diimbangi tindakan pelestarian. Sehingga sumber alan tidak saja rusak tapi juga habis, kalau bukan punah.
Masuknya kapital (modal) ke hutan Kalimantan adalah pangkal tragedi kepemilikan bersama di sana. Di atas hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak guna usaha (HGU kebun sawit), perusahaan-perusahaan besar dari "luar-desa hutan" lebih getol mengeksploitasi sumber alam hutan dan tanah ketimbang mengkonservasi.Â
Lebih banyak, bahkan terlalu banyak, perusahaan-perusahaan itu  mengambil laba untuk menimbun kekayaan sendiri.Â
Lebih sedikit, bahkan terlalu sedikit, yang dikembalikan ke alam dan komunitas lokal dalam bentuk program pemulihan dan pelestarian sumber alam.
Dampaknya menakutkan. Hutan gundul, dengan konsekuensi banjir dan longsor; Â kerusakan habitat fauna endemik seperti orangutan dan enggang serta flora endemik seperti kayu besi; Â monokultur sawit yang merusak keseimbangan ekologis; dan kabut asap dari pembersihan lahan perkebunan dengan sistem bakar.
Gejala kerusakan sumber alam hutan Kalimantan itu memicu tanya, tak adakah modal sosial yang efektif untuk mengatasi persoalan di sana? Pesimisme muncul saat mencari jawaban di lingkungan pengusaha-pengusaha kapitalis di sana. Â
Tapi suatu optimisme, sekecil apapun itu, terbit saat menyaksikan  cara komunitas Dayak di desa-hutan mengelola sumber alam berdasar kearifan budaya lokal, modal sosial yang hidup di sana.
***