"Gatot tak pernah pulang kampung karena dia lahir dan besar di apartemen."
"Orang Jeneponto membunuh tradisi gotong rumah dengan cara membangun rumah beton."
Dua kalimat di atas tergolong "humor sekalimat". Â Lalu, mengapa Anda tak tertawa setelah membacanya?
Karena Anda tak melihat sisi humornya. Sudah terbiasa dengan humor telanjang. Lelucon yang langsung lucu.
Dua humor sekalimat di atas adalah kritik sosial kepada gejala modernisasi. Â Gatot kehilangan kampung halaman, sebab modernisasi perkotaan telah menghilangkan konsep kampung halaman dari hidupnya. Kota hanya menyediakan apartemen tanpa halaman ubtuknya sejak lahir.
Begitupun orang Jeneponto, Sulawesi Selatan. Tradisi gotong rumah rame-rame, untuk pindah tapak, hanya mungkin dilakukan untuk rumah panggung. Tidak untuk rumah beton tanpa tiang di kota Jeneponto.
Apakah menulis humor sederhana seperti itu perlu riset? Â Tentu saja. Sekurangnya pengamatan, atau telusur bacaan.
Sekurangnya perlu riset sederhana tentang dampak modernisasi di perkotaan. Orang kehilangan "kampung", atau kehilangan pranata asli "gotong rumah", itu adalah dampak modernisasi. Â
Menulis humor superpendek seperti di atas adalah upaya menertawakan diri sebagai subyek sekaligus obyek modernisasi. Sebagai obyek, kita kehilangan banyak hal akibat modernisasi. Â Selaku subyek, sebagai bentuk adaptasi sosial, kita menertawakan kehilangan itu.
Saya menulis artikel pendek ini untuk menguatkan frasa "humor perlu riset". Frasa itu diujarkan rekan saya, Zaldy Chan, dalam satu artikelnya baru-baru ini ( Cari sendiri.)
Saya memang selalu menulis berdasar riset. Sesederhana apa pun riset itu. Dulu saya menulis seri artikel Humor Revolusi Mental, semuanya berdasar hasil pengamatan di lapangan. Sebagian besar pengalaman sendiri.