Langkah Gubernur Jakarta Anies Baswedan menurunkan pedagang kaki lima (PKL) dari troroar ke tengah jalan, dengan cara menutup Jalan Jatibaru di Tanah Abang, betul-betul "kejutan out of the box" di penghujung 2017.
"Out of the box" karena langkah menggeser lokasi dagang PKL dari trotoar (jalur pejalan kaki) ke tengah jalan  (jalur kendaraan) memang di luar nalar rata-rata orang. "Kejutan"  karena, di luar ekspektasi,  langkah itu  tak lebih baik dari ulah ormas di Jakarta yang gemar menutup ruas jalan untuk gelaran bazaar rakyat Sabtu-Minggu.
Langkah itu menuai kritik sinikal pada Anies. Katanya, betul sekali, menutup jalan adalah cara terbaik mengatasi kemacetan. Tapi kritik semacam ini salah arah karena masalah Tanah Abang bukan kemacetan tapi banjir PKL yang berdampak kemacetan. Jadi, Â langkah Anies sudah benar fokusnya yaitu penataan PKL.
Yang tak tepat  adalah caranya yaitu menggeser PKL dari "habitat"-nya di trotoar ke "habitat buatan" di jalan raya. Dengan cara ini Anies di satu sisi tidak memberdayakan PKL. Di sisi lain memperparah konflik kepentingan antara PKL, pejalan kaki,  kendaraan bermotor, dan warga setempat. Bisa dipastikan, langkah Anies itu tak didasarkan pada AMDAL.
Langkah Anies itu sebenarnya  telah menyentuh salah satu isu penting pembangunan di negara berkembang yaitu penanganan sektor informal atau ekonomi bazaar. Ini  sangat menarik, karena dengan jargon "Jakarta Untuk Semua", Anies rupanya hendak mereplikasi pendekatan "Jalan Lain" (The Other Path) dari Hernando de Soto, ekonom dan praktisi pembangunan ekonomi kerakyatan Peru.
Sayangnya, "Jalan Lain" yang ditempuh Anies di Jatibaru, Tanah Abang itu  bertolak belakang dengan "Jalan Lain" de Soto.  "Jalan Lain" de Soto adalah penguatan sektor ekonomi informal Peru, tulang punggung ekonomi negara itu, melalui langkah legalisasi berupa pemberian hak kepemilikan usaha (property rights), sehingga  akses ke perbankan dan peluang pengembangan usaha terbuka.
Pertama, lemahnya dasar hukum pemindahan PKL dari "trotoar" ke "tengah jalan" (penilaian Ombudsman). Â Penggunaan badan jalan untuk berjualan dinilai melanggar undang-undang.
Kedua, perpindahan PKL dari "trotoar" ke "tengah jalan" itu tak berimplikasi mobilitas sosial vertikal dari "informal" (illegal) jadi "formal" (legal), atau dari "mikro" menjadi "kecil".
Ketiga, pemindahan lokasi dagang PKL ke "tengah jalan" itu bersifat temporer, terlihat dari tempat berupa tenda darurat dan rencana Pemda untuk mengevaluasinya.
Keempat, sebagian besar PKL yang menempati tenda ternyata adalah pedagang yang memiliki kios di dalam pasar Tanah Abang, sehingga PKL asli kembali berdagang di trotoar dan JPO.