Kurikulum berubah. Dunia berubah. Tapi benarkah arah pendidikan kita sudah jelas? Saatnya bertanya ulang: sekolah mau ke mana?
Dalam beberapa dekade terakhir, kurikulum pendidikan di Indonesia terus berubah---dari Kurikulum 1994, 2004, KTSP, K13, hingga kini Kurikulum Merdeka. Setiap perubahan membawa semangat baru, pendekatan baru, bahkan jargon-jargon baru.
Tapi di tengah segala dinamika itu, satu pertanyaan mendasar jarang diajukan secara jujur:
Sekolah sebenarnya mau ke mana? Apa sesungguhnya tujuan akhir pendidikan kita hari ini?
Apakah untuk mencetak pekerja siap pakai? Warga negara yang taat? Individu yang kreatif dan adaptif? Atau manusia utuh yang berpikir kritis, peduli sesama, dan sadar akan lingkungannya?
Sistem pendidikan kita hari ini sangat rentan terjebak dalam logika pasar: siapa yang pintar harus cepat kerja, dan siapa yang tak mampu bersaing akan tertinggal. Maka tak heran jika orientasi banyak sekolah berubah: dari tempat belajar menjadi tempat berlomba.
Siswa didorong mengejar nilai, bukan makna. Guru ditekan mengejar capaian akademik, bukan karakter. Sekolah mengejar akreditasi, bukan kebermaknaan.
Dan ironisnya, di tengah dunia yang berubah cepat karena digitalisasi dan krisis global, kita malah semakin resah mengejar angka, ranking, dan sertifikat.
Sekolah Sebagai Ruang Tumbuh
Seharusnya, sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi tempat bertumbuh.
Tempat di mana anak tidak hanya belajar matematika dan bahasa, tapi juga belajar tentang kegagalan, kerja sama, dan harapan.
Sekolah adalah satu-satunya tempat di mana semua anak dari latar belakang berbeda bisa bertemu dan belajar hidup bersama. Inilah peluang besar kita membentuk karakter bangsa---bukan sekadar mencetak lulusan.