Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang teman yang sedang bingung memilih sekolah untuk anaknya. "Kalau masuk international school, katanya anak lebih siap menghadapi dunia global. Tapi biayanya? Bisa buat bayar rumah. Kalau sekolah nasional, takutnya nanti ketinggalan metode belajar modern."
Percakapan itu membuat saya berpikir: mengapa pendidikan kita kini seperti dua dunia yang berbeda? Ada sekolah "berstandar internasional" yang sering dianggap elit, dan sekolah nasional yang identik dengan jalur "biasa". Pertanyaan besar pun muncul: apakah perpecahan ini mendidik anak-anak kita menjadi lebih baik, atau justru perlahan membentuk dinding sosial sejak dini?
Tidak bisa dipungkiri, international school menawarkan banyak hal positif. Kurikulum berbasis global membuka wawasan anak-anak untuk berpikir kritis, kreatif, dan adaptif. Bahasa asing menjadi keterampilan sehari-hari, fasilitas pun lengkap.
Namun, ada konsekuensi yang sering tidak kita sadari. Biaya masuk international school bisa setara gaji tahunan sebagian besar orang tua. Akhirnya, sekolah ini hanya bisa diakses segelintir kalangan. Tanpa sadar, kita sedang mengajarkan anak-anak bahwa pendidikan juga memiliki "kelas sosial".
Padahal dalam Islam, pendidikan tidak mengenal batas strata ekonomi. Rasulullah bersabda:
"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim (laki-laki dan perempuan)."
(HR. Ibnu Majah)
Hadits ini sederhana tapi tegas: ilmu itu untuk semua, bukan untuk yang mampu saja. Jika sekolah menjadi ajang eksklusivitas, kita perlu merenung, apakah tujuan pendidikan masih sesuai dengan nilai keadilan yang diajarkan agama?
Di sisi lain, sekolah nasional memegang peran penting sebagai penjaga identitas bangsa. Kurikulum yang menekankan sejarah, bahasa, dan budaya lokal membuat anak mengenal akar dirinya. Namun, tidak jarang sekolah nasional dianggap "kurang prestisius" karena metode belajar yang dinilai konvensional.
Di sinilah letak tantangannya: bagaimana sekolah nasional bisa tetap relevan di era global tanpa kehilangan ruh kebangsaannya? Sebab, kehilangan identitas sama berbahayanya dengan ketinggalan teknologi.
Al-Qur'an mengingatkan dalam QS. Ar-Rum [30]: 22:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah menciptakan langit dan bumi serta perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berilmu."