Mohon tunggu...
Agustini
Agustini Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Profesi sebagai guru telah dijalani dua puluh tahun yang lalu. Bangga menjadi guru.Hobby menulis, banyak kata-kata yang tak mampu dilengakapi oleh kalimat yang keluar melalui bibir. Maka, menulis adalah cara aku berbicara dengan lantang. Hidup seperti awan diatas langit yang terombang-ambing oleh angin lalu dihempaskan ke bumi dalam bentuk hujan. Dan ingin menjadi air hujan yang menuduhkan hati yang gundah dengan suaranya, menyuburkan tanaman dengan air yang bermanfat, mengalirkan sungai dan membasahi tanah yang tandus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Temui Aku (Part 1)

5 Mei 2023   12:41 Diperbarui: 5 Mei 2023   12:50 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
IG pribadi (@sharingmorning)

Sebagai pendidik, hal terbaik yang kita miliki adalah menghantarkan para siswa melewati pintu gerbang kelulusan, dan melihat senyum bangga yang terukir di wajah para wali murid. Bukanlah hal yang besar, malah terlalu biasa. Bukankah tanggung jawab seorang guru tidak  lebih dari itu ? Bisa menyaksikan kesuksesan para peserta didik adalah salah satu anugerah terindah bagi orang tua kedua, idealnya.

Faktanya, selama mengajar  lebih dari dua puluh tahun tidak pernah ada satu pun siswa yang datang padaku untuk mengucapkan terimakasih karena mereka telah sukses atau berhasil berkat bimbingan atau dukunganku. Hal ini menjadi pertanyaan dan sekaligus renungan untukku secara pribadi. Ataukah teman-teman serekan guruku juga mengalami hal yang sama ?

Terutama bagi kami, guru swasta. Tak banyak orang tua murid bahkan para alumni yang hadir walau hanya sekedar menyapa. Saat mereka lulus, maka hubungan antara guru dan murid pun usai. Apa kabar dengan rekan yang mengajar di sekolah negeri  tingkat SMA atau  sederajat ? Masih seringkah para alumni berkunjung ke rumah atau sekedar main di sekolah ?

Hal ini patut direnungkan dan bisa menjadi refleksi diri bagi para guru,khususnya saya. Bahwa selama ini, apakah perilaku saya sebagai seorang guru, belum menyentuh relung hati mereka yang paling dalam ? Sehingga mereka dengan cepat melupakan guru-gurunya ? 

Atau mungkin, para alumni sedang sibuk berjuang mati-matian menggapai cita-cita mereka. Bisa jadi juga, malu untuk menunjukkan mukanya jika belum sukses. 

Sedangkan, di sosmed yang tak sengaja saya intip. Mereka masih bisa berkumpul dengan teman-temannya tanpa guru-guru. Ini yang tiba-tiba merenggut kesadaran saya. Setiap tahun saya menyaksikan para siswa pergi dan siswa baru diterima. Siklus itu terjadi  selama hampir 20 tahun. 

Apa yang telah saya ajarkan selama dua puluh tahun ? Sehingga tak satu pun alumni saya temui dengan sengaja datang dan mengabarkan bahwa mereka telah sukses ataupun belum sukses. Kemana menghilangnya anak-anak ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun