Dalam era di mana konflik geopolitik semakin kompleks, aksi kemanusiaan seperti "All Eyes on Sumud Flotilla" menjadi sorotan global. Flotilla ini, yang terinspirasi dari semangat sumud (ketabahan) rakyat Palestina, merupakan upaya sipil untuk menembus blokade Gaza dengan membawa bantuan kemanusiaan, termasuk obat-obatan, makanan, dan peralatan medis. Namun, ancaman intervensi militer dari pihak Israel terhadap flotilla semacam ini bukan hanya isu politik, melainkan pelanggaran nyata terhadap hak asasi manusia (HAM) berdasarkan hukum internasional. Sebagai opini hukum, artikel ini akan menganalisis kerangka hukum yang relevan, implikasi terhadap HAM, dan rekomendasi untuk komunitas internasional.
Latar Belakang Flotilla Sumud
"All Eyes on Sumud Flotilla" adalah inisiatif yang diluncurkan oleh kelompok aktivis internasional, termasuk dari Eropa, Amerika, dan Timur Tengah, untuk menyoroti krisis kemanusiaan di Gaza. Gaza, yang berada di bawah blokade ketat Israel sejak 2007, mengalami kelaparan, kekurangan obat-obatan, dan akses terbatas terhadap air bersih---kondisi yang telah dikecam oleh PBB sebagai "neraka terbuka". Flotilla ini, yang dijadwalkan berlayar dari pelabuhan Eropa menuju Gaza, bertujuan membawa bantuan tanpa senjata, sejalan dengan prinsip non-kekerasan. Namun, sejarah menunjukkan bahwa upaya serupa, seperti Freedom Flotilla pada 2010 (yang berujung pada insiden Mavi Marmara di mana 10 aktivis tewas), sering kali dihadang dengan kekerasan oleh angkatan laut Israel. Ancaman serupa terhadap Sumud Flotilla menimbulkan pertanyaan hukum mendesak: Apakah intervensi semacam itu sah di bawah hukum internasional, atau justru melanggar HAM dasar?
Kerangka Hukum Internasional yang Relevan
Hukum Laut dan Kebebasan Navigasi (UNCLOS 1982), Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) menetapkan bahwa perairan internasional, termasuk Laut Mediterania, adalah milik bersama umat manusia. Pasal 87 UNCLOS menjamin kebebasan navigasi yang damai, termasuk untuk kapal sipil yang membawa bantuan kemanusiaan. Blokade Gaza, yang diberlakukan Israel, tidak secara otomatis membenarkan intervensi terhadap kapal yang berlayar di perairan internasional. Mahkamah Internasional (ICJ) dalam kasus Legal Consequences of the Construction of a Wall in the Occupied Palestinian Territory (2004) menyatakan bahwa tindakan Israel di wilayah pendudukan harus sejalan dengan hukum internasional, termasuk hak warga Gaza atas bantuan kemanusiaan. Intervensi terhadap flotilla Sumud, jika dilakukan di luar perairan teritorial Israel (12 mil laut), akan melanggar kebebasan ini dan dapat dikategorikan sebagai pembajakan di laut lepas.
Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Negara, HAM yang paling relevan di sini adalah hak atas kehidupan, kebebasan berekspresi, dan hak atas bantuan kemanusiaan. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang diratifikasi oleh Israel pada 1991, melindungi hak kehidupan (Pasal 6) dan kebebasan bergerak (Pasal 12). Aktivis flotilla, sebagai warga negara asing, dilindungi oleh prinsip non-refoulement dan hak untuk tidak mengalami kekerasan sewenang-wenang.Â
Selain itu, Resolusi Dewan Keamanan PBB 1860 (2009) menyerukan akses penuh bantuan kemanusiaan ke Gaza. Blokade yang menghalangi hal ini melanggar Konvensi Jenewa Keempat (1949), khususnya Pasal 55-56, yang mewajibkan kekuatan pendudukan untuk memfasilitasi bantuan medis dan makanan bagi penduduk sipil. Laporan PBB tentang insiden Mavi Marmara (2010) menyimpulkan bahwa intervensi Israel "tidak proporsional" dan melanggar hukum humaniter, yang dapat diterapkan analogi pada Sumud Flotilla. Jika intervensi menyebabkan cedera atau kematian, ini bisa memicu tanggung jawab pidana di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), mengingat ICC memiliki yurisdiksi atas wilayah Palestina sejak 2015.
Pelanggaran HAM Spesifik terhadap Warga Gaza, Flotilla Sumud secara langsung menyoroti pelanggaran HAM struktural di Gaza. Menurut Amnesty International dan Human Rights Watch, blokade telah menyebabkan krisis kesehatan yang parah: 96% air tanah tercemar, dan 50% obat-obatan esensial habis stok. Ini melanggar hak atas kesehatan (Pasal 12 ICESCR) dan hak atas makanan yang memadai (Pasal 11 ICESCR). Dengan menolak bantuan flotilla, Israel tidak hanya melanggar kewajibannya sebagai kekuatan pendudukan, tetapi juga memperburuk penderitaan sipil sebuah tindakan yang bisa diklasifikasikan sebagai hukuman kolektif, dilarang oleh Pasal 33 Konvensi Jenewa.
Implikasi Hukum dan Etis
Secara hukum, pemerintah Israel berisiko menghadapi tuntutan di forum internasional. Uni Eropa, sebagai tuan rumah banyak aktivis flotilla, dapat menekan melalui sanksi atau resolusi Parlemen Eropa. Selain itu, negara-negara peserta flotilla (seperti Turki atau Spanyol) memiliki hak untuk memprotes melalui saluran diplomatik, termasuk Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR). Etisnya, flotilla ini mewakili perlawanan sipil terhadap ketidakadilan, sejalan dengan semangat Deklarasi Universal HAM (UDHR) yang menekankan martabat manusia di atas batas nasional.
Namun, tantangan utama adalah penegakan hukum. Israel sering kali mengklaim hak bela diri berdasarkan Resolusi DK PBB 242, tetapi ini tidak membenarkan pelanggaran HAM yang sistematis. Komunitas internasional, termasuk Indonesia sebagai negara yang aktif di Gerakan Non-Blok, harus mendukung flotilla melalui pengawasan independen, seperti misi pengamat PBB.
Kesimpulan dan Rekomendasi
"All Eyes on Sumud Flotilla" bukan sekadar aksi protes, melainkan panggilan untuk keadilan hukum dan HAM. Intervensi terhadapnya akan memperkuat narasi pelanggaran sistematis terhadap hukum internasional, sementara dukungan terhadapnya dapat membuka jalan bagi solusi damai. Untuk mencegah eskalasi:
- PBB dan ICJ harus segera membentuk investigasi independen atas ancaman terhadap flotilla.
- Negara-negara peserta wajib memberikan perlindungan diplomatik kepada aktivis.
- Media dan masyarakat sipil harus terus memantau, memastikan "semua mata" benar-benar tertuju pada isu ini.
Hukum internasional bukanlah dokumen mati; ia adalah alat untuk melindungi yang lemah. Biarlah Sumud Flotilla menjadi katalisator bagi dunia untuk menegakkan HAM, bukan menghancurkannya.
Penulis:Â